Medan (ANTARA News) - Seorang ahli kesehatan di Medan, dr T Yenni Febrina mengatakan, sebanyak 82 persen wanita pelaku aborsi akan merasa kehilangan harga dirinya pascamelakukan perbuatannya tersebut.
"Apa yang dialami wanita pelaku aborsi tersebut dalam dunia psikologi dikenal sebagai `Post Abortion Syndrome` atau Sindrom Pasca Aborsi," katanya, di Medan, Selasa.
Berbicara pada seminar "Kesehatan Reproduksi Remaja", ia mengatakan, proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik.
Namun juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita.
Selain merasa kehilangan harga diri karena melakukan aborsi, pelaku aborsi juga dapat mengalami gangguan jiwa lainnya seperti selalu berteriak-teriak histeris, mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi.
Kemudian ingin melakukan bunuh diri, mulai mencoba menggunakan obat-obatan terlarang, dan tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual.
"Di luar itu, para wanita yang melakukan aborsi akan dipenuhi perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya,"katanya.
Menurut dia, aborsi adalah menggugurkan kandungan atau dalam istilah kedokteran dikenal dengan abortus. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.
Dalam dunia kedokteran dikenal tiga macam aborsi yakni aborsi spontan atau alamiah, aborsi buatan atau sengaja dan aborsi terapeutik atau medis.
Aborsi spontan berlangsung tanpa tindakan apapun, kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
Sementara aborsi buatan atau sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi, dalam hal ini adalah dokter, bidan atau dukun beranak.
Sementara aborsi terapeutik atau medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik.
Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya.
"Namun untuk aborsi terapeutik ini, semua dilakukan atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa," katanya.
Menurut dia, frekuensi terjadinya aborsi di Indonesia sangat sulit dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa dilaporkan kecuali jika terjadi komplikasi sehingga perlu perawatan di rumah sakit.
"Akan tetapi berdasarkan perkiraan dari BKKBN ada sekitar 2 juta kasus aborsi yang terjadi setiap tahunya di Indonesia. Berarti ada 2 juta nyawa yang dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu," katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009