Belum ditemukan naskah akademik terkait peraturan dan penjelasan mengenai dasar 50 persen cakupan pengawasan atau 40 kantor wilayah bea cukai ini

Jakarta (ANTARA) - Pemerhati kebijakan publik Emerson Yuntho mendesak pemerintah segera merevisi kebijakan Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Tembakau yang dinilai kontradiktif terhadap aturan di atasnya dan berpotensi menghilangkan pendapatan negara.

Dalam keterangan di Jakarta, Kamis, Emerson mengatakan, dalam Perdirjen tersebut, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen diperbolehkan 85 persen dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai.

Produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari HJE asal dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei kantor Bea Cukai.

"Belum ditemukan naskah akademik terkait peraturan dan penjelasan mengenai dasar 50 persen cakupan pengawasan atau 40 kantor wilayah bea cukai ini," ujar Emerson.

Sementara itu, aturan diatasnya yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 152 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK No 146 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, pemerintah sudah menetapkan harga jual rokok tidak boleh lebih rendah dari batasan HJE per batang atau gram yang berlaku. Sementara di lapangan masih ditemukan harga dibawah itu.

Temuan Emerson, saat ini banyak merek besar dengan bebas menjual dan mengiklankan harga rokoknya jauh di bawah 85 persen harga banderol.

Contohnya salah satu merek rokok dengan banderol Rp34ribu dijual dengan harga Rp25ribu atau 74 persen banderol. Taktik serupa juga dilakukan merk rokok lainnya dimana banderol Rp20ribu dijual dengan harga pasar Rp15ribu atau 73 persen banderol.

Akibat kebijakan tersebut, negara berpotensi kehilangan pendapatan dari cukai mencapai Rp2,6 triliun.

Hasil penelitian Emerson tersebut memperkuat temuan Institute for Development of Economics (Indef) sebelumnya yang menemukan PPh badan yang berpotensi hilang mencapai Rp1,7 triliun pada 2019.

Perdirjen 37 tersebut dinilai kontraproduktif dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 yang berupaya menurunkan prevalensi merokok. Celah kebijakan diskon rokok diduga banyak dimanfaatkan perusahaan-perusahaan besar.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, muncul beberapa persoalan di lapangan terkait pengawasan produk rokok yang menjual di bawah 85 persen harga jual eceran.

"Terdapat indikasi merek rokok tidak sesuai batas di wilayah yang disurvei, sehingga tidak dikenakan penyesuaian seperti yang diatur," ujar Tauhid.

Senada dengan Emerson, ia menyarankan klausul pengecualian di 40 area kantor kea cukai tersebut dikaji kembali.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta dapat melakukan kajian dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait aturan yang mengandung celah kerugian negara tersebut.

KPK sebelumnya pernah memiliki kajian sejenis yang merekomendasikan penghapusan kebijakan insentif di wilayah perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) tahun 2019 yang mampu menyelamatkan penerimaan negara hingga Rp945 miliar.

Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menegaskan pihaknya masih meminta konfirmasi kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan tentang informasi tersebut.

"Sedang dikumpulkan informasinya dan komunikasi dengan Direktur Jenderal Bea Cukai," ujar Pahala.

Baca juga: Industri rokok diminta tetap beli tembakau petani Temanggung
Baca juga: BKF tegaskan tidak ada diskon rokok dalam aturan pemerintah

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020