Semarang (ANTARA News) - Direktur Utama PT RMI Group, Rohmad Hadiwijoyo mengatakan, peringatan terhadap adanya bahaya "global warming" sebenarnya dapat menciptakan peluang usaha tersendiri jika dimanfaatkan dengan tepat.
"Antara tahun 1980-1990 merupakan era `trading` (perdagangan), yakni siapa pihak yang mampu memanfaatkan peluang transaksi perdagangan secara besar, maka dia akan menjadi maju," katanya di Semarang, Minggu.
Era perdagangan tersebut, kata dia, dilanjutkan dengan era informasi dan teknologi antara tahun 1990-2000, siapa yang dapat memanfaatkan perkembangan informasi dan teknologi akan maju, sehingga perkembangan teknologi saat itu pesat.
"Namun, memasuki tahun 2000-2020 mendatang eranya sudah bergeser menjadi era `global warming`, sebagai dampak adanya perkembangan teknologi dan pembangunan industri yang sangat pesat di era-era sebelumnya," katanya.
Karena itu, kata dia, pergeseran era dari tahun ke tahun itu juga memengaruhi perkembangan iklim usaha dan saat ini siapa pihak yang dapat meminimalisir dan mengurangi dampak `global warming` yang akan maju dan berkembang.
"Penyumbang terbesar panasnya suhu bumi yang menyebabkan `global warming` adalah gas karbondioksida (CO2) sekitar 70 persen, sehingga hal itu mendorong terciptanya peluang usaha baru, terutama bagi saya," katanya.
Ia mengatakan, dengan adanya kenyataan bahwa gas CO2 yang banyak berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor dan industri merupakan penyumbang terbesar panasnya bumi, maka pihaknya berinisiatif menguranginya.
"PT RMI merupakan satu-satunya perusahaan di Indonesia yang bergerak di bidang pengolahan CO2 yang berasal dari emisi gas buang CO2, menjadi gas CO2 murni yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan minuman berkarbonasi," katanya.
PT RMI, kata dia, saat ini telah bekerja sama dengan PT Krakatau Steel dengan menangkap CO2 yang dihasilkan dan setelah itu pihaknya mengolah CO2 tersebut menjadi CO2 murni melalui proses yang cukup panjang.
Ia mencontohkan, sebuah pabrik dapat menghasilkan CO2 sebanyak 40 ton/jam, apabila tidak dikurangi tentu dampaknya semakin lama akan semakin parah, namun ia mengakui bahwa pihaknya belum mampu mengurangi secara maksimal.
"Kami baru mampu menangkap dan mengolah sekitar 3 ton/jam gas CO2 dari rata-rata sekitar 40 ton/jam CO2 yang dihasilkan pabrik, karena keterbatasan alat yang dimiliki untuk mengolah CO2 tersebut," katanya.
Menurut dia, peluang usaha itu didukung pula oleh kebutuhan CO2 murni hasil olahan dari gas buang tersebut bagi produsen minuman berkarbonasi, misalnya PT Coca Cola yang rata-rata membutuhkan CO2 murni sekitar 33 ton/hari.
"Kami juga tengah merencanakan untuk bekerja sama dengan PT Holcim dalam pengolahan limbah semen," kata Rohmad yang juga Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) DKI Jakarta tersebut.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009