Jakarta (ANTARA News) - Pembentukan kabinet untuk pemerintahan lima tahun ke depan seharusnya berdasarkan profesionalitas dan yang ditunjuk memiliki kompetensi di bidang tugasnya.

"Orang-orang yang mengisi posisi kabinet harus orang-orang yang berkompeten," kata Ketua BUMN Watch, Naldy Nazar Haroen dalam perbincangan di Jakarta, Minggu.

Menurut Naldy, pembentukan kabinet merupakan sebuah kompromi untuk membentuk pemerintahan yang stabil, kuat, dan profesional sehingga pada pembagian kursi kabinet untuk pemerintahan lima tahun ke depan seharusnya tidak dilakukan hanya asal tunjuk.

"Pengisian posisi kabinet seharusnya berdasarkan atas kompetensinya atau kemampuannya, kualitas, dan profesionalitas," katanya.

Jika memang terpaksa dalam menentukan kabinet tidak berdasarkan kompetensi, maka lebih baik orang yang bersangkutan tidak ditempatkan pada posisi departemen yang dapat menentukan kebijakan strategis.

"Jika menempatkan orang yang tidak sesuai kompetensinya dalam posisi tersebut akan mempengaruhi kinerja kabinet dalam membangun pemerintahan yang baik," kata Naldy.

Naldy mengambil contoh jabatan Meneg BUMN. Masalah BUMN sangatlah kompleks, mengingat selama ini dan bahkan sampai saat ini nuansa intervensi kepentingan kelompok maupun golongan dalam bisnis BUMN belum sepenuhnya bisa dihilangkan.

BUMN belum sepenuhnya steril dari kepentingan kelompok maupun golongan, hingga sulit bagi BUMN meningkatkan kinerjanya dan meningkatkan kemampuannya dalam menghasilkan deviden untuk Negara (efisiensi dan efektifitas).

Ia mengharapkan, orang yang duduk pada jabatan tersebut benar-benar orang yang memiliki kompetensi atau kemampuan, berkualitas, profesional, jujur dan bukan dari partai politik.

"Berani mengatakan "tidak" untuk intervensi politik, hingga ke depan citra buruk yang selama ini melekat pada BUMN, yaitu sebagai sapi perah partai politik dan kekuasaan bisa dihilangkan," harap Naldy.

Menyinggung program 100 hari yang akan dilakukan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Naldy berpendapat, sebaiknya masyarakat tak perlu terlalu banyak berharap terhadap program tersebut.

"Masyarakat jangan terlalu berharap yang muluk-muluk dan mengharapkan dalam 100 hari SBY-Boediono dapat melakukan perbaikan di semua sektor. Dalam lima tahun pemerintahan saja terkadang belum tentu berhasil apalagi yang hanya 100 hari awal pemerintahan," katanya.

Menurut Naldy, program 100 hari merupakan semacam sebuah konvensi atau kesepakatan tidak tertulis terkait dengan pemerintahan. Hal ini dilakukan untuk memapankan pemerintahan dan kekuasaan.

"Program itu juga sebagai sebuah pernyataan komitmen untuk bekerja dengan membuat gebrakan program 100 hari dalam pemerintahan, dan sebagai periode waktu bagi masyarakat untuk melihat mau dibawa kemana pemerintahan Indonesia nantinya," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009