Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syafuan Rozi Soebhan mengatakan kebijakan impor bawang putih seharusnya disertai dengan data yang memadai agar tidak selalu menimbulkan polemik.
Syafuan mengatakan komunikasi yang baik antar kementerian lembaga terkait maupun dengan asosiasi petani juga harus dilakukan sebelum adanya keputusan untuk melakukan impor.
"Untuk waktu yang akan datang, data tentang kebutuhan pangan bawang putih mesti dilakukan dengan baik, sehingga tidak terjadi defisit komoditas tersebut secara berulang," ujarnya dalam pernyataan di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Peneliti harapkan pembenahan koordinasi untuk izin impor bawang putih
Syafuan juga menyoroti tindakan Kementerian Pertanian yang melaporkan 34 pelaku usaha impor bawang putih ke Satgas Pangan karena mengimpor tanpa mengajukan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Pelaku usaha impor itu menggunakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 27 Tahun 2020 untuk mengimpor tanpa melalui Surat Persetujuan Impor (SPI) dan Laporan Surveyor (LS).
Relaksasi itu merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden untuk menjaga ketersediaan serta stabilisasi harga barang dan bahan pangan pokok, termasuk bawang putih dan bawang bombay.
Namun, pelaksanaan impor ini tetap harus dilaksanakan sesuai kuota dalam RIPH dan tidak boleh melebihi batas kuota impor yang sudah ditetapkan.
Pelaporan itu juga menjadi polemik karena Badan Karantina dianggap lalai dan mengizinkan impor, meski sesuai kewenangan, otoritas itu hanya mengecek surat keterangan sehat bukan mengurusi kuota RIPH.
Baca juga: Program swasembada bawang putih di tengah gempuran impor
Menurut Syafuan, masalah relaksasi kebijakan itu timbul karena tidak adanya sinkronisasi antar pihak yang seharusnya bisa dibicarakan sejak awal.
Meski demikian, tambah dia, langkah Direktorat Jenderal Hortikultura untuk melaporkan 34 pelaku usaha impor itu merupakan wewenang dan otoritas lembaga yang dijamin oleh UU Ketahanan Pangan.
"Akar persoalannya itu tidak klop peringatan dini kebutuhan bawang putih untuk diproduksi secara lokal, kalau ada kekurangan baru diimpor," katanya.
Dalam kesempatan terpisah, pengamat politik dari Universitas Jayabaya Igor Dirgantara menilai kasus ini menjadi salah satu rapor merah bagi Kementerian Pertanian.
Menurut dia, kinerja Kementerian Pertanian itu belum optimal dan masih melakukan inkonsistensi dalam pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan.
Ia memprediksi kasus komunikasi yang tidak lancar dalam pengadaan bahan pangan khususnya pasokan bawang putih ini dapat membuat menteri terkait terkena reshuffle.
"Kalau ada reshuffle, menteri bersangkutan peluang digeser sangat besar," katanya.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020