Gianyar (ANTARA) - Pandemi COVID-19 yang mulai merebak di Indonesia sejak awal Maret 2020 telah membuat berbagai aspek kehidupan berubah. Salah satu sektor usaha yang sangat terdampak dari pagebluk tersebut yaitu industri pariwisata. Propinsi Bali, tentunya menjadi daerah yang paling terpukul. Pulau Dewata yang biasanya menjadi destinasi utama wisatawan asing maupun wisatawan nusantara, langsung meredup.

Akibatnya, hampir sebagian besar hotel dan vila di wilayah itu terpaksa merumahkan (PHK) para karyawan.
Namun, ibarat pepatah dalam sebuah musibah tentu ada hikmah yang bisa dipetik. Di mana ada kesulitan, di situ ada jalan.

Para karyawan yang terkena PHK beberapa di antaranya langsung beralih profesi, mulai dari menjual makanan, kue, hingga memproduksi kerajinan tangan. Seperti di Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, Bali, sejumlah ibu-ibu muda yang dirumahkan dari tempat pekerjaannya, memilih untuk menenun.

Mereka membentuk Kelompok Pengrajin Tenun yang beranggotakan 12 orang. Sejak beberapa bulan terakhir, tenun yang merekan tekuni tersebut justru membuahkan hasil dan kini banyak menerima pesanan dari Mancanegara.

"Pengirimannya itu ada ke Thailand, Singapura, Kanada dengan jumlah 3 sampai 10 kain tenun berupa selendang dan kamen," kata Kepala Dusun Banjar Dinas Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Tampaksiring, Gianyar, Made Astawa, di rumah produksi tenun, Gianyar, Selasa.

Ia mengatakan motif yang paling diminati yaitu motif Gegambiran dan motif Kenyeri. Untuk motif Kenyeri, biasanya berbentuk polos dengan dasar kuning berisi garis hijau dan merah. Motif Kenyeri biasa digunakan sebagai acuan bagi pemula yang belajar menenun karena motifnya yang sederhana dan mudah dipelajari.

Proses menenun membutuhkan kesabaran,ketelitian dan semangat agar dapat terselesaikan dengan baik.

Tahap pertama yang harus dikerjakan yaitu membeli benang di Pasar Tradisional Klungkung, dengan warna dasar. Kemudian, masuk ke tahap Ngulak yaitu benang yang sudah melalui proses penjemuran disatukan dalam satu wadah untuk diulak penuh.

"Saat diulak kita akan memikirkan dasarnya seperti apa, dan berapa memerlukan benang untuk pembuatan selendang atau kamen,"jelasnya.

Tahap kedua, yaitu nganyinin berarti benang yang sudah diatur jumlahnya dan komposisinya lalu diputer pada bambu yang sudah disediakan dengan gambaran membentuk dua arah.

"Yang lebih banyak kita buat adalah menggunakan guun satu yang saat mengerjakannya mulai dari membuat pola. Dengan guun satu mengerjakan lebih rumit tapi bikin dasarnya gampang,"jelasnya.

Proses berikutnya yaitu nusuk proses memasukkan benang ke dalam serat satu per satu sesuai jumlah. Setelah itu dilanjutkan dengan nyasah yaitu memasukkan benang ke dalam kayu yang besar. Pada saat nyasah membutuhkan tiga orang yang bertugas untuk menarik, memegang dan merapikan. Setelah melalui proses nyasah selanjutnya menenun hingga memasukkan pola-pola sesuai kreativitas.

Pemesanan yang diterima dari mancanegara berupa selendang tapi dengan ukuran yang lebar. Nantinya, Kata Astawa kain tenun itu akan digunakan sebagai hiasan dinding, hiasan meja makan di negara mereka.

Satu kelompok penenun terdiri dari 12 orang dan rencananya akan bertambah menjadi 22 orang. Kelompok penenun di Desa Pejeng Kangin, sebagian besar berprofesi sebagai pelaku pariwisata dan perhotelan. Namun, karena dampak COVID-19 harus dirumahkan dan mengalami PHK.

"Dari 170 Kepala Keluarga, ada 800 orang dan yang melaporkan ke kami ada 82 orang dengan status dirumahkan, sedangkan yang di PHK sekitar 10 orang. Namun, beberapa warga lainnya sudah ada yang kembali bekerja lagi,"katanya.

Sejumlah warga menyelesaikan pembuatan kain tenun rangrang, gambiran dan kenyeri di Lingkungan Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Gianyar, Bali, Selasa (30/6/2020). Para perajin yang sebagian besar merupakan pekerja pariwisata yang dirumahkan dan terkena PHK akibat COVID-19 tersebut saat ini berupaya membangkitkan kembali usaha kerajinan tenun tradisional di kawasan itu dengan target pemasaran ke mancanegara. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/nym/pras.


Kepedulian ekspatriat

Sesungguhnya, kerajinan tenun di desa ini sempat berjaya sekitar 25 tahun lalu, namun mulai ditinggalkan karena banyak warga yang memilih bekerja di sektor jasa pariwisata.
Kini, desa ini kembali ramai dengan puluhan ibu-ibu yang menekuni tenun tradisional itu.

Astawa menjelaskan berkat bantuan dari seorang ekspatriat yang memiliki kepedulian terhadap budaya di Desa Pejeng Kangin, memberikan ruang dan kesempatan kepada warga yang dirumahkan untuk bisa produktif dengan membuat kain tenun, yang sudah lama ditinggalkan.

Sekitar tahun 80an, produksi kain tenun sangat maju baik di Bali hingga mancanegara. Namun, sekitar tahun 90an mayoritas penduduk di Desa Pejeng Kangin beralih menjadi pelaku pariwisata dan perhotelan, sehingga kegiatan menenun mulai ditinggalkan.

Selama COVID-19 kegiatan menenun mulai dikembangkan kembali, dari kalangan orang tua dan remaja untuk diadakan pelatihan menenun. Sekitar lebih dari dua minggu sudah mulai memproduksi kain tenun untuk dipasarkan. Untuk kain tenun jenis selendang dijual seharga Rp150 sampai Rp500 ribu.

Pemasaran dilakukan secara online melalui media sosial masing-masing warga, yang tergabung dalam kelompok penenun Desa Pejeng Kangin.

Menurut Astawa yang menjadi daya tarik bagi para turis mancanegara terletak pada cerita dibalik pembuatan tenun. Mulai dari alasan dibuatnya tenun, tradisi yang kental dan masih diterapkan di Bali yang tidak bisa diperoleh di daerah lain.

"Yang biasa dipakai selendang mereka pakai untuk hiasan meja dan dinding, serta untuk pajangan. Mereka juga lebih menghargai hasil proses seni yang dihasilkan, dari pada harga yang ditawarkan. Pola-polanya juga tergantung dari pemesanan pembeli,"jelasnya.

Ketua kelompok penenun, Putu Ratnawati menuturkan bahwa kegiatan menenun ini telah ditekuninya sejak remaja. Namun, sempat terhenti ketika harus bekerja sebagai pelaku pariwisata.

"Saya kerja di villa, karena selama COVID-19 bekerja secara part-time maka waktu-waktunya yang lain digunakan untuk menenun," katanya.

Ia mengatakan selama COVID-19 bersama dengan 11 penenun lainnya melengkapi pesanan yang akan siap dikirim. Selain itu, juga disediakan stok jika mendadak ada pesanan.

Motif-motif luar yang biasa dibuat berupa motif rang-rang dengan perpaduan warna yang beragam.

Sejak bulan Mei 2020, Putu Ratnawati bergabung dalam kelompok penenun desa Pejeng Kangin dan tetap berproduksi hingga saat ini. Waktu bekerja juga berbeda-beda, mulai dari jam 11.00 WITA-17.00 WITA atau pukul 16.00 WITA hingga pukul 10.00 WITA.

"Kita juga di sini masih belajar untuk mengingatkan yang dulu, beberapa yang baru, kalau dikasih motif baru kan masih susah takutnya malah jadi rusak. Jadi ini dulu yang dibuat," katanya.

Ratna menjelaskan ke depannya kualitas benang yang digunakan akan lebih ditingkatkan lagi sehingga menghasilkan kain tenun yang lebih bagus dari sebelumnya.

"Jadi maunya menggunakan benang yang lebih bagus, yaitu mastuli karena sebelumnya kita menggunakan metris, jadi berharap bisa lebih bagus lagi hasilnya,"katanya.

Menurutnya, motif rang-rang paling sukit dikerjakan karena memerlukan teknik-teknik agar benang yang ditenun tidak keliru atau rusak. Ada yang motif dibuat sendiri, ada juga motif yang terbentuk dari benang itu sendiri.

Pihaknya berharap agar kondisi ini segera pulih, pariwisata tetap bisa berjalan dan penjualan kain tenun di Desa Pejeng Kangin dapat berjalan lancar.
Baca juga: Dekranasda Bali: perajin harus pintar mainkan desain selera publik
Baca juga: Milenial dari Bali dan Jawa Timur jadi Putra Putri Tenun Songket
Baca juga: Resah pariwisata Bali turun akibat COVID-19, serikat pekerja temui DPD

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2020