Jakarta (ANTARA) - Tuntutan terhadap Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan sudah dibacakan pada Senin, 29 Juni 2020 di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Berkas setebal 4.850 halaman itu tidak dibacakan seluruhnya tapi "hanya" dibacakan sebanyak 600 halaman secara bergantian oleh 6 orang jaksa penuntut umum (JPU) KPK.
Butuh waktu sekitar 9 jam hingga nyaris berganti hari untuk dapat menyelesaikan seluruh pembacaaan tuntutan untuk adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah itu.
Suami Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany tersebut menyimak jalannya sidang dari rumah tahanan Cipinan Jakarta Timur karena sidang memang berlangsung secara daring.
Beberapa kali sidang sempat terhenti karena gangguan teknis saat jaksa membacakan modus korupsi dan pencucian uang sejak 2006-2012 dengan total nilai mencapai sekitar Rp1,9 triliun itu.
Pada amar permohonannya, JPU KPK meminta agar Wawan dijatuhi vonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp5 miliar subsider 1 tahun kurungan dan harta-harta yang terbukti diperoleh dari tindak pidana harus dirampas untuk negara.
Dugaan Korupsi
Wawan disebut jaksa mendapat keuntungan karena mendapat dukungan langsung dari kakaknya, Ratu Atut Chosiyah selaku pelaksana tugas (Plt) Gubernur Banten maupun Gubernur Banten periode 2006-2012.
Wawan melalui empat perusahaan miliknya yaitu PT Bali Pacific Pragama (BPP), PT Buana Wardana Utama (BWU), PT Putra Perdana Jaya (PPJ), PT Citraputra Mandiri Internusa (CMI) serta perusahaan yang lain terafiliasi dengan Wawan memperoleh ratusan proyek di Banten.
Seluruh direktur dari keempat perusahaan itu tersebut adalah staf Wawan di PT Bali Pasific Pragama yang hanya merupakan boneka saja karena pengendalian kegiatan dan operasional perusahaan pada kenyataannya tetap dilakukan oleh Wawan sebagai pemilik perusahaan tersebut.
Sejumlah dugaan korupsi yang didakwakan kepada Wawan adalah pertama, Wawan disebut mendapat keuntungan tidak sah dari 10 paket pengadaan alat kesehatan RS rujukan pemerintah provinsi Banten pada Dinas Kesehatan provinsi Banten APBD TA 2012 sekitar Rp39.470.124.416,00 dan dari 4 paket pengadaan alat kesehatan RS rujukan pemerintah provinsi Banten pada Dinas Kesehatan provinsi Banten APBD-P TA 2012 sebesar Rp10.613.349.510,00.
Caranya adalah Ratu Atut Chosiyah selaku Gubernur Banten mengatur proses pelelangan di lingkungan pemerintah provinsi Banten. Atut dapat melakukannya karena setiap kepala dinas yang ditunjuk Atut lebih dalu membuat komitmen terhadap Atut untuk loyal kepada Wawan sehingga memudahkan Wawan untuk lebih leluasa dalam mengatur proyek-proyek pekerjaan di setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Pemprov Banten.
Ditemukan juga dokumen-dokumen saat pengeledahan di kantor PT BPP berupa usulan-usulan mutasi jabatan di Pemprov Banten dan wilayah kabupaten lainnya sehingga mereka akan takut dipindahkan bila tidak menuruti kemauan Wawan.
Wawan juga mendekati dan memberikan sejumlah uang kepada anggota DPRD Banten antara lain Agus Puji Rahardjo sekitar Rp15 juta, Thoni Fathoni Mukson sekitar Rp120 juta, Rahmat sebesar Rp75 juta serta fasilitas mobil kepada beberapa anggota DPRD di antaranya A’eng Chaerudin, Jayeng Rana, Agus Puji Raharjo, Media Marwan dan Eddy Yus Amirsyah agar pembahasan anggaran di DPRD dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan keinginan Wawan.
Kedua, pada periode pemerintahan Airin Rachmi Diany yang merupakan istri Wawan selaku Wali Kota Tangerang Selatan, Wawan juga telah melakukan tindak pidana korupsi berupa proyek pengadaan alat kesehatan pada dinas kesehatan kota Tangerang Selatan APBD-P TA 2012.
Caranya melalui Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas Kesehatan kota Tangerang Mamak Jamaksari mem-ploting paket-paket proyek yang nanti diarahkan pemenang lelangnya ke perusahaan milik Wawan yaitu PT BPP atau terafiliasi dengan perusahaan Wawan. Wawan mendapatkan keuntungan tidak sah sekitar Rp7.941.630.033,00
Pada 2006-2012 Wawan melalui PT BPP telah melakukan tindak pidana korupsi berupa jatah porsi keuntungan tidak sah atau "fee" dengan total sekitar Rp374.428.377.288,16 yang berasal dari total 154 proyek alat-alat kesehatan di provinsi Banten dan sekitarnya baik itu menggunakan dana APBD, APBDP, APBN yang dikerjakan oleh Yuni Astuti selaku penyedia alat-alat kesehatan dengan menggunakan perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan PT BPP
Pun setelah Wawan ditangkap oleh KPK, pada September 2013, di dalam rutan, Wawan meminta anak buahnya Dadan Priyatna untuk merekap proyek-proyek yang dikerjakan oleh PT BPP sejak tahun 2005 sampai 2012.
Berdasarkan catatan di PT BPP yang diketahui oleh Dadang, maka PT BPP yang dikuasai Wawan menerima penerimaan tidak sah sejak 2010-2012 dengan total sekitar Rp915.630.792.022 dari 538 proyek dan Rp223.742.344.660 untuk tahun 2005-2009.
Jumlah tersebut adalah "fee" dan keuntungan tidak sah lainnya sejak 2005-2012 dengan persentase variasi sampai dengan 48,3 persen dari nilai kontrak proyek setelah dipotong pajak (nilai real cost), contoh untuk proyek alat kesehatan mendapatkan fee/keuntungan sampai dengan 48,3 persen, sedangkan untuk proyek konstruksi (jalan) berkisar 15-30 persen.
Ketiga, Wawan juga diketahui atau patut diduga telah melakukan tindak pidana korupsi pengadaan tanah pembangunan "sport center" tahun 2008-2011 di Pemprov Banten sehingga mendapatkan keuntungan tidak sah sekitar Rp109.061.902.000 dan pengadaan tanah untuk Kawasan Pertanian Terpadu provinsi Banten tahun 2011 sehingga mendapatkan keuntungan tidak sah sekitar Rp53.472.481.100.
Cara Wawan mendapat keuntungan adalah Wawan sudah mengetahui bocoran rencana pembangunan yang akan dilakukan Pemprov Banten, lalu menyuruh Mohamad Hules untuk membeli tanah-tanah tersebut di masyarakat dengan harga jauh lebih murah lalu tidak berapa lama tanah-tanah tersebut di jual lagi ke Pemprov Banten sehingga Wawan mendapatkan banyak selisih keuntungan dari pengadaan tanah tersebut.
Keempat, Sedangkan pada 2006-2010 PT BPP mendapatkan keuntungan tidak sah dari prosentasi/porsi fee dari proyek yang dikerjakan Yuni Astuti yang didapatkannya melalui Wawan/PT BPP dengan menggunakan perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan PT BPP yaitu proyek-proyek alat-alat kesehatan di provinsi Banten dan sekitarnya baik itu menggunakan dana APBD, APBDP, APBN, dengan total sekitar Rp174.976.371.517,96.
Nilai total keuntungan Wawan melalui PT BPP yang berasal dari keseluruhan proyek di pemprov banten sejak 2006 adalah Rp1.909.337.372.547,12.
Untuk mendapatkan proyek alkes maupun proyek konstruksi lainnya baik itu bersumber dari dana APBD dan APBN sejak tahun 2006-tahun 2013, PT BPP melakukan persengkokolan perencanaan atau pelaksanaan pemilihan kontrak menggunakan intervensi dari Ratu Atut Choisyiah ke kepala dinas untuk loyal dan berkordinasi dengan Wawan.
"Sehingga tindak lanjutnya adalah 'hengky pengky' antara terdakwa (PT BPP) dengan pihak terlibat pengadaan barang dan jasa seperti panitia lelang dan PPK," ungkap jaksa KPK Roy Riady.
Adapun bentuk "hengky pengky" itu dengan untuk memberikan sejumlah uang dengan tujuan mengatur agar proyek didapatkan oleh Wawan (PT BPP) dengan cara di antaranya pengaturan jadwal lelang (upload gaib), mengatur penawaran harga (HPS) di "mark up" sehingga dengan harga di mark up bisa berbagi keuntungan "fee".
Salah satu fakta menguatkan lagi yakni adanya aliran uang ke Ratu Atut Choisyiah dan salah satu alamat kantor PT BPP juga menggunakan alamat rumah Ratu Atut Chosyiah yaitu Jalan Taman Kebun Jeruk (Intercon) Blok UI No. 99, Kembangan, Jakarta Barat yang seirng digunakan domisili perusahaan dalam pelelangan-pelelangan yang diikuti.
Wawan pun mengatur proses lelang untuk dapat dimenangkan sendiri melalui perusahaan milik Wawan maupun perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan terdakwa
Ia kemudian menuliskan nama-nama paket proyek yang nantinya PT BPP harus dapatkan, selanjutnya tulisan nama-nama paket proyek yang nantinya PT BPP harus dapat tersebut di ketik kemudian diserahkan kembali kepada Wawan.
Wawan memutuskan mana paket proyek yang akan dikerjakan sendiri oleh karyawan PT BPP dengan menggunakan perusahaan PT BPP, PT Putra Perdana Jaya dan PT Buana Wardana Utama dan untuk paket proyek yang akan dikerjakan oleh karyawan PT BPP namun menggunakan perusahaan di luar perusahaan milik Wawan dan ketiga untuk paket proyek yang akan dikerjakan oleh perusahaan lain dimana PT BPP hanya menerima komitmen fee-nya (kewajiban) saja dari perusahaan sebagai pelaksana proyek tersebut dengan kisaran sekitar 12-45 persen dari nilai real cost kontraknya (setelah dipotong pajak).
Kemudian ia memerintahkan kepada tim pelelangan dari PT BPP yang terdiri dari Dadang Prijatna, Dadang Sumpena, Dedy Suwandi, M. Luth Ishak (umar) untuk mengamankan paket proyek tersebut serta mencari perusahaan di luar PT BPP, PT Putra Perdana Jaya dan PT Buana Wardana Utama yang nantinya sebagai pelaksana atau perusahaan yang dipinjam benderanya terkait paket proyek tersebut.
Perusahaan yang dipinjam benderanya untuk mengikuti paket proyek akan menerima "fee" 1-1,5 persen dari nilai "real cost" Sedangkan Untuk keuntungan paket proyek yang dikerjakan oleh karyawan PT BPP dengan menggunakan perusahaan PT BPP, PT Putra Perdana Jaya maupun PT Buana Wardana Utama biasanya sekitar 30 persen dari real cost-nya.
Setelah uang dari kas daerah masuk ke dalam rekening perusahaan pemenang lelang selanjutnya uang yang telah masuk kedalam rekening pemenang lelang tersebut ditarik dengan cek atau tunai dan dikumpulkan ke rekening PT BPP. Uang lalu dibagikan kepada pihak pelaksana dan para pejabat pemerintah sesuai dengan yang ditentukan oleh Wawan.
Uang Rp1,909 triliun itu sejak 22 Oktober 2010 sampai September 2019 lalu ditempatkan ke rekening-rekening atas nama orang lain, atas nama Wawan sendiri, perusahaan miliknya ataupun perusahaan-perusahaan di bawah kendali Wawan, dibelikan mobil-mobil, beberapa tanah dan bangunan.
Selain itu Wawan juga membiayai untuk keperluan Pilkada Tangerang Selatan untuk Airin Rachmi Diany tahun 2010–2011, mendirikan Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE), membiayai pemilihan Gubernur Banten tahun 2011 untuk Ratu Atut Chosiyah, mengajukan kredit BNI Griya Multiguna, mengajukan biaya proyek/modal kerja ke BNI, menyewakan apartemen dan disimpan dalam brankas PT Bali Pasific Pragama (PT BPP).
Dalam persidangan, Wawan membantah semua kalau sebagian dari aset atau harta kekayaannya tersebut bukan berasal dari tindak pidana korupsi, namun JPU menilai Wawan tidak dapat mengajukan bukti-bukti pendukung dan hanya berdasarkan asumsi-asumsi saja serta bertentangan dengan keterangan sanksi lain.
Berdasarkan keterangan saksi meringankan (a de charge) Gatot Budi Sayogo mengatakan kalau perhitungan keuntungan PT BPP dari proyek-proyek APBN, APBD itu didapatkan dari keinginan perhitungan Wawan saja tanpa memiliki data pendukung
Wawan maupun ke empat perusahaan miliknya yaitu PT BPP, PT BWU, PT PPJ dan PT CMI merupakan wajib pajak yang tidak patuh buktinya dalam laporan pajaknya baik selaku wajib pajak pribadi maupun wajib pajak badan.
Keikutsertaan perusahaan Wawan dalam "tax amnesty" membuktikan bahwa memang benar perusahaan miliknya bukanlah wajib pajak yang patuh.
"Namun demikian kami tetap mengapresiasinya, meskipun itu juga tidak dilakukan oleh terdakwa untuk ikut 'tax amnesty' untuk wajib pajak pribadi terdakwa sendiri," ujar jaksa Roy menambahkan.
Jaksa KPK pun telah menyita dan melelang ribuan unit aset Wawan dan perusahaannya.
Modus pencucian uang
Jaksa KPK juga mengungkapkan sejumlah cara Wawan untuk melakukan pencucian uang yaitu pertama dengan sengaja mencampuradukan rekening penerima pembayaran proyek dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dengan rekening untuk menampung pinjaman kredit modal kerja (KMK) atas nama PT Bali Basific Pragama (rekening escrow).
Selanjutnya penggunaannya dialihkan bukan hanya untuk kegiatan modal kerja tetapi juga untuk pembelian aset harta kekayaan dengan tujuannya untuk menyamarkan hasil kejahatan tersebut agar sulit terdeteksi oleh penegak hukum.
Modus kedua, Wawan sengaja mencampuradukan rekening kredit pinjaman Griya atas nama Tubagus Chaeri Wardana dengan rekening PT BPP, PT BWU, PT PPJ dan rekening Yayah Rodiah yang berasal dari pembayaran proyek yang didapatkan secara melawan hukum.
"Adapun tujuan mencampuradukan rekening di Bank merupakan salah satu modus pencucian uang yang dikenal dengan 'mingling', tujuannya agar perolehan pembelian aset tanah dan bangunan di Bali maupun di daerah lainnya seolah-olah dari hasil yang sah sehingga sulit terdeteksi oleh penegak hukum," ungkap jaksa Roy.
Modus ketiga, uang-uang hasil proyek yang didapatkan secara melawan hukum dan sudah ditempatkan di berbagai rekening itu sebagian besar dilakukan transaksi-transaksi setor/tarik tunai oleh staf PT BPP dan ditransfer ke rekening Yayah Rodiah dan perusahaan lainnya yang kegunaannya berdasarkan pengakuan Yayah Rodiah untuk pembelian/pembayaran aset milik Wawan dan memberikan suap ke pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan proyek lagi, membiayai Pilkada Banten, Lebak dan Serang serta membuat surat Perjanjian Pemborongan Pembangunan SPBE.
Ketiga, melakukan modus "U-turn" yaitu setelah uang masuk di rekening selanjutnya ditransfer atau dipindahbukukan ke rekening lainnya kemudian ditransfer kembali ke rekening tersebut.
Keempat, ada juga yang sebagian transaksinya ditarik tunai dalam jumlah yang lebih kecil dan disetor kembali ke rekening lainnya (structuring), maupun disetor oleh beberapa pihak pada tanggal yang hampir bersamaan (smurfing), sehingga hal ini merupakan tindakan "layering" untuk menyamarkan asal-usulnya.
Kelima, ada upaya pengalihan kepemilikan terhadap beberapa harta Wawan yang semula atas namanya lalu dialihkan menjadi atas nama orang lain atau dari nama orang lain lalu dialihkan kepada orang lain berikutnya dengan cara seolah-olah dijual, atau dipinjamkan ke orang lain padahal orang-orang tersebut berada di bawah kendali Wawan (secara de facto).
Keenam, modus "integration" yaitu membuat usaha bisnis yang sah yang bersumber dari "fee" dan uang proyek yang didapatkan secara melawan hukum seperti usaha radio, SPBU, SPBE, hotel, penyewaan apartemen yang selanjutnya hasil dari kegiatan usaha seolah-olah sah.
Lalu sebagian Wawan belanjakan sebagian aset untuk pihak lain maupun atas namanya sendiri serta adanya transaksi tanpa adanya "underlaying" atau dasar transaksi yang jelas seperti memberikan kendaraan ke pacar-pacar Wawan seperti Jennifer Dunn, Catherine Wilson, Rebecca Reijman, Aimah Mawaddah Warahmah (nama panggung Aima Diaz) dan Reny Yuliana.
Ketujuh, modus "concealment within business structure". Wawan tidak memberikan informasi yang benar saat memberikan kewajiban laporan SPT pajak tahunan baik sebagai wajib pajak pribadi maupun perusahaannya, bahkan beberapa perusahaannya seperti PT BWY, PT PPJ dan PT CMI tercatat sebagai wajib pajak tidak patuh karena tidak melaporkan SPT penghasilan setiap tahun.
Hal tersebut menunjukkan perusahaan-perusahaan yang dibuat Wawan hanyalah upaya menyembunyikan dana kejahatan ke dalam kegiatan normal dari bisnis atau ke dalam perusahaan yang telah ada yang dikendalikan oleh PT BPP hal ini termasuk tipologi pencucian uang yang sering dikenal dengan "concealment within business structure".
"Dengan demikian terlihat jelas bahwa upaya menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan tersebut memang menjadi niat atau tujuan terdakwa," ungkap jaksa Roy.
Mantan Kepala PPATK Yunus Husein, yang dihadirkan sebagai ahli tindak pidana pencucian uang menjelaskan profil pelaku pencucian uang dapat dilihat dengan metode analisis dari kehidupan terdakwa (life style) sebagai orang yang "big spender".
"Artinya orang yang boros, foya-foya di antaranya dengan mudah memberikan hadiah ke teman dekat perempuan-perempuanya berupa kendaraan mewah dan rumah mewah dan memberikan kendaraan-kendaraan ke anggota DPRD provinsi Banten," papar jaksa.
Terhadap harta-harta yang terbukti berasal dari tindak pidana tersebut, sudah sepatutnya dirampas untuk diserahkan ke kas negara.
Baca juga: Tubagus Chaeri Wardana dituntut 6 tahun penjara
Baca juga: Tuntutan Wawan setebal 4.850 halaman siap dibacakan
Baca juga: Wawan ajak Jennifer Dunn liburan ke Bali dan Melbourne
Baca juga: Artis Jennifer Dunn akui dapat mobil mewah dari Wawan
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020