Pariaman (ANTARA News) - Berada di satu kampung yang sebagian besar bangunan dan rumah warganya roboh dan rata dengan tanah, seperti di Nagari Kampung Paneh, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat (Sumbar), membuat hati terasa miris.

Di kampung itu, hampir setiap rumah dan bangunan yang terlihat kondisinya rusak parah dan sebagian besar rata dengan tanah meninggalkan puing-puing yang belum sempat di bersihkan pemiliknya.

Kalaupun masih ada beberapa rumah yang berdiri tegak, namun banyak dindingnya yang retak-retak bahkan ada yang copot jatuh tanah.

Hampir di depan setiap rumah didirikan tenda darurat dan rumah kayu darurat ala kadarnya untuk tempat berlindung dan tidur dimalam hari bagi pemilik yang rumahnya tak bisa lagi ditempati.

Meski sebagian besar bangunan dan rumah di kampung itu, luluhlantak oleh gempa, tapi Kampung Paneh terhindar dari tanah longsor dari perbukitan Gunung Tigo dan Padang Alai. Tiga perkampungan bertetangga dengan Kampung Paneh justru kini telah terkubur oleh tanah longsor yakni Lubuk Laweh, Cumanak dan Pulau Air.

Sejak tersiar kabar, dampak gempa dan tanah longsor, kampung-kampung itu "diserbu" banyak orang, terutama ratusan anggota tim SAR gabungan dari dalam luar negeri yang diterjunkan untuk mencari para korban yang tertimbun puing bangunan dan tanah longsor.

Kemudian, ratusan orang dengan mobil truk dan minibus serta pick-up mengantarkan bantuan kemanusian tanggap darurat berupa bahan makanan, mie instan, minuman mineral, tenda dan obat-obatan.

Namun ratusan orang juga berdatangan untuk sekedar "menonton" dampak gempa di lokasi itu, bahkan ada yang datang berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan menggunakan belasan bahkan ratusan sepeda motor.

Mereka seperti hanya jalan-jalan ke sini untuk melihat kami dan kehancuran di kampung kami, kata Man, salah seorang warga di kampung tersebut.

Tidak sedikit dari mereka mengabadikan rumah-rumah yang roboh dengan kamera telepon gengamnya, bahkan ada yang berpoto ria dengan latar belakang rumah yang hancur, tambahnya.

Menurut dia, jelas mereka bukanlah wartawan. "Mana ada wartawan memfoto dengan kamera HP," katanya.

Pada awal-awal pasca gempa, warga yang umumnya jadi korban tidak terlalu merisaukan kehadiran para penonton dampak gempa tersebut. Namun dihari-hari berikut, saat trauma warga belum habis, mereka mulai risih ditonton terus oleh para pengunjung itu.

Sebagai bentuk protesnya, sebagian warga mulai meminta derita mereka dan kehancuran rumah-rumah di daerahnya tidak lagi jadi tontonan warga lain yang datang ke tempat itu.

Dari pantauan ANTARA di Patamuan, permintaan warga yang menjadi korban itu disampaikan melalui tulisan-tulisan di kertas kardus bekas dan dipancangkan di depan rumah mereka yang hancur dan rata dengan tanah.

"Jangan tonton lagi derita kami". "Kami jangan lagi jadi tontonan", demikian tulisan spidol yang ditulis pada kertas kardus dan dipanjangkan di depan puing-puing rumah wraga yang hancur.

Tulisan seperti itu banyak nampak di depan puing-puing rumah warga di Kampung Paneh menandakan mereka tidak mau lagi derita mereka akibat gempa ditonton oleh pengunjung yang datang tanpa ada niat menolong atau menyumbang.

Meski demikian, juga juga banyak kertas karton yang ditulis dengan kata-kata permohonan sumbangan bagi korban gempa di lokasi itu.

Kertas-kertas itu umumnya dipancang warga disisi jalan dan ditempat itu juga terlihat banyak warga meminta sumbangan. Mereka mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa hingga kakek dan nenek-nenek.

Mereka meminta sumbangan di pinggir jalan menuju Kampung Paneh baik dari jalur jalan Tandikek, maupun dari simpang Padang Sago.

Peminta sumbangan itu bejejer dengan jarak dekat atau hanya beberapa meter, bahkan ada pula yang bergerombolan di satu titik di pinggir jalan.

Jon (31), seorang pemuda di Kampung Paneh mengatakan, warga di daerahnya yang hancur karena gempa memang telah menjadi tontonan warga yang datang bergerombolan sejak bencana terjadi Rabu (30/9).

Warga yang datang menggunakan kendaraan roda empat dan dua yang datang ke daerah itu biasanya menonton rumah-rumah yang hancur, namun tidak banyak yang memberikan sumbangan secara langsung, tambahnya.

Karena itu, warga di daerah tersebut kini tidak mau lagi menjadi tontonan mereka yang datang ke sana hanya untuk sekedar melihat kehancuran rumah-rumah warga warga, tambahnya.

Guncangan gempa 7,9 SR di Padang Pariaman menyebabkan 675 orang korban tewas, 70.988 unit rumah warga rusak berat, sebagian besar diantaranya roboh, 11.547 unit rusak sedang dan 4.305 unit rusak ringan. (*)

Oleh Hendra Agusta
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009