Ponorogo (ANTARA News) - Menorehkan canting pada kain untuk dijadikan selembar batik bukanlah hal yang sulit bagi Mariana (60), seorang ibu yang mewarisi keahlian tersebut secara turun-temurun sejak kecil.

Bagi perempuan yang bergiat di sentra batik di Jalan Semeru, Kabupaten Ponorogo, Jatim, itu, membatik merupakan bagian dari hidup dan sumber mata pencahariannya.

Ia mendirikan kelompok pengrajin batik pada awal 1980-an. Dalam kurun waktu itu, sedikitnya sudah 25 motif batik asli Ponorogo ia ciptakan.

"Batik Ponorogo terkenal dengan motif meraknya yang diilhami dari kesenian reog yang menjadi ikon di daerah ini. Sedikitnya sudah ada 25 motif batik yang saya ciptakan untuk menjadi motif asli, di samping batik motif Jawa yang dikenal pada umumnya," ujar Mariana.

Dari 25 motif yang ia ciptakan, yang menjadi andalan adalah motif Merak Tarung, Merak Romantis, Sekar Jagad, dan Batik Reog. Namun, pihaknya juga menerima pembuatan batik tulis yang motifnya sesuai dengan keinginan pembeli.

"Biasanya ada juga pembeli yang menginginkan motif tertentu. Maka, saya tinggal membuat desainnya untuk kemudian digambarkan ke kain. Namun, biasanya tidak jauh dari motif khas batik ponorogo," kata dia.

Untuk mengikuti perkembangan, pihaknya tidak hanya membuat batik tulis, namun juga batik cetak.

Dalam kesehariannya membatik, lanjut wanita yang memiliki tiga putra itu, ia dibantu seluruh anggota keluarganya. Jumlah itu masih ditambah dengan anggota kelompok pengrajin batik besutannya yang berjumlah hingga 10 orang.

"Waktu itu namanya Kelompok Perajin Batik Mekar Jaya. Tapi, kok, sampai sekarang tidak `jaya-jaya` (berkembang), ya?" katanya sambil tertawa.

Merasa kurang beruntung, akhirnya Mariana memutuskan untuk mengubah nama kelompok itu menjadi Kelompok Kerajinan Batik Sofi, yang diambilkan dari nama salah satu putrinya. Meski demikian, secara keseluruhan perkembangan batik Ponorogo masih jauh dari harapan.

"Memang ada perubahan, namun hanya sedikit. Secara umum, hingga kini keberadaan batik Ponorogo masih jauh dari makmur. Tentunya, banyak sekali faktor yang mempengaruhinya," ujarnya serius.

Ia mengungkapkan, kendala terbesar yang dihadapi saat mengembangkan batik ponorogo, selain kurang modal dan promosi, adalah maraknya pembajakan atau penjiplakan motif asli yang menjadi ciri khas untuk kepentingan komersial.

"Ironisnya, pemerintah daerah sendiri juga tidak serius menghadapi masalah penjiplakan motif asli yang kami hadapi. Padahal, penjiplakan ini berdampak pada matinya kreativitas pembatik untuk berkembang, karena setiap hasil karya yang tercipta tidak mendapat keuntungan yang memadai," ucapnya.

Karena itu, kata Mariana, pengakuan batik sebagai salah satu warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia oleh UNESCO, membawa harapan baru bagi para pembatik di Ponorogo. Para pembatik merasa memiliki kekuatan baru.

"Kami menjadi lebih optimistis akan masa depan batik, terlebih untuk batik Ponorogo. Keberadaan batik tulis menjadi memiliki sedikit harapan untuk bangkit kembali. Tentunya, hal ini juga harus gayung bersambut dengan perhatian dari pemerintah baik pusat maupun daerah setempat," katanya.

Dengan adanya penetapan dari UNESCO, Mariana berharap, ada tindak lanjut dari pemerintah daerah, seperti memberikan kesempatan dan penghargaan bagi para seniman dan perajin batik. Sehingga penetapan tersebut tidak hanya sekadar pengesahan tanda milik, namun lebih cenderung untuk melindungi tradisi membuat batik.

"Rasanya akan sia-sia perolehan pengakuan tingkat internasional tersebut jika tidak memberikan dampak positif bagi pembatik dan pelaku bisnis batik di Indonesia, akibat ketidakpedulian pemerintah terhadap kekayaan luhur ini," katanya.

Salah satu hal yang masih menjadi ancaman saat ini adalah penjiplakan motif. Modusnya, rancangan batik tulis dari salah satu pengrajin atau seniman batik langsung dijiplak oleh produsen batik pabrikan atau "printing".

"Hal ini yang seharusnya menjadi acuan pemda setempat. Diharapkan ada langkah pencegahan penjiplakan seni batik. Sehingga, motif khas batik suatu daerah dipatenkan dan diakui hak ciptanya untuk tidak ditiru demi kepentingan komersial semata," tutur Mariana.

Regenerasi terhambat
Belum diakuinya hak cipta dan sulitnya proses pembuatan batik yang memerlukan beberapa hari, membuat batik ponorogo sulit melakukan regenerasi. Kalangan generasi muda enggan menekuni seni membatik, karena rumitnya proses pembuatan yang tidak ditunjang dengan hasil yang diterima.

Para generasi muda lebih banyak memilih bekerja di luar daerah atau negeri ketimbang berkutat dengan canting, malam (bahan pewarna batik), ataupun menekuni kegiatan membatik lainnya. Keadaan ini pula yang menjadi alasan batik ponorogo semakin terpuruk keberadaannya.

Guna mengatasi sulitnya regenerasi itu, Mariana berusaha mendekati para ibu muda yang ada di sekitar desanya untuk bergabung.

"Mungkin untuk tahap awal adalah pengenalan dahulu. Namun, nanti lama-lama diharapkan para ibu muda ini memiliki rasa kepedulian untuk mengembangkan batik ponorogo yang menjadi salah satu bagian dari motif batik yang dimiliki oleh Indonesia," ujarnya berharap.

Kepala Dinas Industri, Perdagangan, Koperasi, dan UKM Kabupaten Ponorogo, Yusuf Pribadi mengakui keberadaan batik di Ponorogo masih lesu. Hal itu dipicu oleh keberadaan motif yang tersedia masih monoton.

"Secara umum, batik ponorogo hanya menonjolkan motif merak saja. Sehingga kalah bersaing dengan batik Jawa Tengah yang memiliki motif dan corak yang beragam. Kreativitas pembatik dalam hal ini sangat diuji," katanya.

Meski demikian, pihak pemerintah daerah berusaha semaksimal mungkin untuk mendukung kemajuan batik ponorogo untuk menjadi salah satu ikon Ponorogo seperti layaknya reog.

Pemkab Ponorogo juga berencana untuk andil dalam ajang pameran batik khas daerah yang akan digelar Pemerintah Provinsi Jatim, dalam waktu dekat ini.

"Tentunya batik yang akan diajukan adalah batik ponorogo tersebut. Hal ini juga merupakan wadah bagi batik ponorogo untuk dikenal di dunia luar," katanya.

Selain itu, ke depan, pemda dan pembatik berupaya untuk mematenkan motif batik ponorogo supaya memiliki hak cipta.

"Hal ini untuk melindungi para pembatik jika ada ulah penjiplakan di waktu-waktu mendatang. Namun untuk hak paten masih perlu dibahas lebih lanjut lagi, yang pasti acuan ke arah sana ada," kata Yusuf.

Guna meningkatkan keahlian dan kreativitas, tambah Yusuf, pemda juga terus melakukan pelatihan dan pembinaan bagi pembatk Ponorogo. Diharapkan dengan pembinaan ini, pembatik Ponorogo akan menciptakan batik khas Ponorogo lainnya yang diminati pasar.(*)

Oleh Louis Rika Stevani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009