"Kalau memori perlawanan (verset) yang sedang kita susun ini diterima maka sidang akan dilanjutkan lagi," katanya di Semarang, Jumat.
Setelah mendengar dan membaca putusan Hakim Ketua dalam sidang yang digelar Selasa (13/10) di Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Semarang, Kajati dan tim jaksa penuntut umum (JPU) mengaku tidak bisa menerima putusan tersebut yang membebaskan terdakwa.
Menurut Kajati, pertimbangan pengambilan putusan itu tidak tepat dan tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selain itu, putusan yang diambil majelis hakim bersifat imajinatif.
Sifat yang imajinatif tersebut dimasukkan majelis hakim dalam keterangan yang meminta di dalam surat dakwaan harus diuraikan adanya persetubuhan berikut dengan cara dan prosesnya.
"Bagaimana mau menguraikan adanya persetubuhan di dalam surat dakwaan kalau saksi korban, Lutfiana Ulfa, tidak bersedia memberikan keterangan. Apa jaksa harus mengarang atau memanipulasi hal tersebut," ujarnya.
Kajati menjelaskan, tidak masalah kalau saksi korban tidak mau menandatangani hasil visum yang dilakukan oleh tim dokter resmi.
"Di dalam surat keterangan yang dibuat oleh tim dokter dengan meminta keterangan dari saksi korban, yang bersangkutan menyebutkan kalau sudah disetubuhi oleh terdakwa tapi tidak mengatakan bahwa sebelum disetubuhi ada cara-cara yang tidak disebutkan dalam surat dakwaan," katanya.
Kajati menyatakan, surat dakwaan yang diajukan dalam persidangan sudah benar dan cukup jelas serta sudah memenuhi syarat formil dan materiil.
"JPU tidak akan mengubah surat dakwaan tersebut karena di dalam berkas pemeriksaan sudah seperti itu. Korban sendiri tidak menerangkan, lantas jaksa harus mengambil keterangan dari mana," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Kajati, putusan majelis hakim dianggap bersifat imajinatif dengan memberi contoh kasus lain yang berbeda dengan perkara Syekh Puji ini, dan dapat dipastikan korban mau memberikan keterangan.
Kajati menambahkan, sejak awal menyusun surat dakwaan terhadap Syekh Puji, JPU sudah yakin akan memenangkan perkara ini karena hukum harus tetap ditegakkan.(*)
Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009