Paris (ANTARA News/AFP) - Sedikitnya 35 wartawan meninggalkan Iran karena khawatir akan keselamatan diri dan keluarga mereka, dan 24 orang lagi saat ini masih berada di dalam penjara setelah pemilu Juni yang dipersoalkan, kata sebuah organisasi hak asasi wartawan, Rabu.
"Itu merupakan eksodus terbesar wartawan sejak revolusi 1979 (yang mendudukkan para ulama Islam ke tampuk kekuasaan) dan kami kebanjiran masalah... banyak masalah yang harus ditangani," kata Reza Moini, dari organisasi Wartawan Tanpa Batas.
Moini menyatakan bahwa sekitar 35 wartawan melarikan diri sejak pengumuman pemilihan kembali Mahmoud Ahmadinejad sebagai presiden pada 12 Juni, namun ia memperkirakan jumlah yang sebenarnya antara 40 dan 45.
"Mereka semua dituduh bertindak melawan keamanan nasional, mengambil bagian dalam protes-protes ilegal atau menulis artikel propaganda yang menentang rejim Islam," katanya, dengan menambahkan bahwa 19 wartawan dan lima pemilik situs ditahan oleh pihak berwenang Iran.
Teheran dilanda protes besar beberapa pekan setelah pengumuman itu, di tengah tuduhan-tuduhan mengenai kecurangan pemilu oleh calon yang kalah.
Oposisi reformis menyatakan bahwa pemilihan presiden pada Juni telah dicurangi untuk mendudukkan lagi Ahmadinejad ke tampuk kekuasaan. Pihak berwenang membantah tuduhan tersebut.
Iran menghadapi krisis terburuk sejak pembentukan republik Islam itu pada 1979, ketika ratusan ribu orang turun ke jalan-jalan dalam protes sepekan menentang hasil pemilihan umum itu.
Para pejabat mengatakan bahwa 30 orang tewas dalam kerusuhan itu, namun oposisi menyebut jumlah kematian 69.
Sekitar 4.000 orang ditangkap dan puluhan reformis, wartawan dan pendukung oposisi disidangkan atas tuduhan berusaha menggulingkan rejim Iran dengan dukungan asing, khususnya AS dan Inggris.
Para pemimpin oposisi yang mencakup calon-calon presiden, Mir Hossein Mousavi dan Mehdi Karroubi, mengecam persidangan itu, menolak mengakui kepresidenan Ahmadinejad dan berjanji melanjutkan protes.
"Hari ini, lebih pasti daripada sebelumnya, kita harus mendorong perubahan, yang merupakan tuntutan sah dari gerakan reformis," kata Mohammad Khatami, mantan presiden dan pendukung utama kelompok-kelompok oposisi Iran, seperti dikutip kantor berita ILNA, Jumat (28/8).
Pada 3 Agustus, pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mensahkan hasil pemilu yang mendudukkan lagi Mahmoud Ahmadinejad ke tampuk kekuasaan ketika ia mengukuhkan kemenangannya dalam pemilihan presiden bermasalah 12 Juni yang mengarah pada protes dan kerusuhan mematikan di jalan-jalan.
Iran sudah menggelar persidangan masal terhadap lebih dari 140 orang yang dituduh memiliki kaitan dengan demonstrasi besar-besaran dan kekerasan yang terjadi setelah kemenangan Ahmadinejad yang dipersoalkan.
Pemerintah Iran menuduh saingan utama Ahmadinejad, Mir Hossein Mousavi, dan calon lain yang kalah menyulut pergolakan politik, dan menyebut negara-negara asing berencana menggoyahkan Iran.
Termasuk yang diadili adalah pegawai-pegawai kedutaan besar Inggris dan Perancis serta seorang wanita Perancis yang menjadi asisten dosen universitas.
Kubu garis keras di Iran sejauh ini menuduh para pendukung oposisi, yang turun ke jalan-jalan untuk memprotes pemilihan kembali Mahmoud Ahmadinejad sebagai presiden, didukung dan diarahkan oleh kekuatan-kekuatan Barat, khususnya AS dan Inggris.
Oposisi yang dipimpin oleh saingan utama Ahmadinejad, Mir Hossein Mousavi, menekankan bahwa pemilihan itu telah dicurangi, dan mereka menolak tuduhan-tuduhan mengenai campur tangan asing.
Khamenei mengecam protes itu dan memberikan dukungan tanpa syarat kepada Ahmadinejad dan mengumumkan bahwa pemilihan itu sah, meski dipersoalkan banyak pihak.
Para pemimpin dunia menyuarakan keprihatinan yang meningkat atas kerusuhan itu, yang telah mengguncang pilar-pilar pemerintahan Islam dan meningkatkan kekhawatiran mengenai masa depan negara muslim Syiah itu, produsen minyak terbesar keempat dunia.
Presiden Mahmoud Ahmadinejad, yang telah membawa Iran ke arah benturan dengan Barat selama masa empat tahun pertama kekuasaannya dengan slogan-slogan anti-Israel dan sikap pembangkangan menyangkut program nuklir negaranya, dinyatakan sebagai pemenang dengan memperoleh 63 persen suara dalam pemilihan tersebut.
Para pemimpin Iran mengecam "campur tangan" negara-negara Barat, khususnya AS serta Inggris, dan menuduh media asing, yang sudah menghadapi pembatasan ketat atas pekerjaan mereka, telah mengobarkan kerusuhan di Iran.
Mantan Presiden Akbar Hashemi Rafsanjani mengecam propaganda yang dilakukan media asing mengenai pergolakan kekuasaan di jajaran tinggi kepemimpinan Iran.
"Propaganda yang dilakukan media asing yang berusaha mengisyaratkan bahwa terjadi pergolakan kekuasaan di tingkat puncak pemerintahan merupakan hal yang tidak adil sama sekali bagi revolusi Islam," kata Rafsanjani.
Iran telah melarang media asing meliput pawai-pawai protes dan pertemuan yang diadakan oleh gerakan oposisi.
Kementerian Luar Negeri Iran bahkan menunjuk langsung lembaga-lembaga siaran global seperti BBC dan Voice of America, dengan mengatakan bahwa mereka adalah agen-agen Israel yang bertujuan "memperlemah solidaritas nasional, mengancam integritas bangsa dan mendorong disintegrasi Iran".(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009