Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendorong kasus pemalsuan sertifikat anak buah kapal (ABK) yang berhasil diungkap Polda Metro Jaya dan Kementerian Perhubungan, dikembangkan ke arah tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Diketahui, Polda Metro Jaya bersama tim Satgas Kementerian Perhubungan menangkap 11 orang yang diduga memalsukan 5.041 sertifikat keterampilan pelaut, yang dalam aksinya para tersangka melakukan akses ilegal terhadap situs resmi Kementerian Perhubungan. Hal tersebut diungkap dalam jumpa pers yang digelar di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (25/6).
"LPSK berharap penyidik memproses hukum ke-11 tersangka tidak sebatas pada pemalsuan, atau Undang-Undang ITE karena melakukan akses ilegal saja, tetapi juga mengaitkannya dengan tindak pidana perdagangan orang," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu.
Baca juga: LPSK kabulkan permohonan perlindungan 14 ABK korban perbudakan
LPSK menilai pemalsuan dokumen merupakan salah satu cara para pelaku TPPO mempermudah para korban untuk dipekerjakan.
Edwin mengatakan perdagangan orang dimulai sejak proses perekrutan, di mana korban dijanjikan pekerjaan legal, majikan yang baik, dan penghasilan yang cukup, serta uang tali asih untuk keluarga
“Mereka para korban kemudian dibekali dokumen identitas palsu, KTP, dan paspor,” kata dia.
Dia menyebut praktik perdagangan orang sektor perikanan (ABK) biasanya melibatkan dua pihak, yakni penyalur dan pihak perusahaa atau kapal penerima.
Selain itu, kata dia, perbudakan pada sektor perikanan ini juga melibatkan banyak negara sehingga masuk ke dalam kategori kejahatan lintas negara.
Edwin mengungkapkan, data LPSK sepanjang 2015-2019, terdapat 122 korban TPPO yang dibekali dokumen palsu. Khusus ABK sektor perikanan, LPSK telah memberikan perlindungan kepada 232 korban mulai dari tahun 2013-Juni 2020.
“Angka ini bukan merupakan jumlah keseluruhan dari korban peristiwa serupa,” ujar dia.
Baca juga: LPSK nyatakan siap lindungi ABK WNI di kapal berbendera China
Dia menambahkan, korban TPPO mendapatkan atensi khusus dari LPSK karena merupakan satu dari delapan tindak pidana prioritas yang dimandatkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pada 2018, kata dia, terdapat 186 terlindung dari kasus TPPO, dan naik menjadi 318 terlindung pada 2019. Angka tersebut menempatkan kasus TPPO pada posisi empat besar jumlah terlindung LPSK pada 2019, setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme, dan pelanggaran HAM berat.
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo menambahkan, korban TPPO yang menjadi terlindung LPSK berasal dari berbagai profesi, jenis kelamin dan usia, termasuk anak.
Mereka bekerja di berbagai bidang, seperti pekerja hiburan, nikah kontrak, pekerja seks komersil, perkebunan, penjualan organ tubuh, ABK dan lainya, yang terjadi di dalam dan luar negeri.
“LPSK siap bekerja sama dengan Polri untuk mengkaji keterkaitan antara pemalsuan sertifikat pelaut dengan kasus-kasus TPPO sektor perikanan lain, yang korbannya menjadi terlindung LPSK,” kata Antonius.
Baca juga: Kemarin, LPSK lindungi ABK WNI hingga remisi khusus 1.049 Napi
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020