Jakarta (ANTARA News) - Tim pengacara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Marta Hamzah, akan mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang dugaan pelanggaran aturan yang dilakukan Mabes Polri.
"Besok kita akan sampaikan surat resmi ke presiden," kata anggota tim pengacara tersebut, Ahmad Rifai, ketika ditemui di gedung KPK, Jakarta, Rabu.
Menurut Rifai, surat itu berisi sejumlah data tentang dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh kepolisian, terkait dengan penanganan kasus yang menjerat pimpinan KPK.
Data itu antara lain berupa sejumlah bukti pertemuan antara Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri, Komjen Pol Susno Duaji dengan pengusaha Anggoro Widjojo yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi.
KPK telah menetapkan Anggoro sebagai tersangka suap kepada sejumlah anggota DPR. Anggoro juga pelapor dugaan pemerasan dan penyuapan yang diduga dilakukan oleh pimpinan KPK.
Menurut Rifai, KPK telah menetapkan Anggoro sebagai tersangka dan memasukkannya dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Rifai mengatakan, DPO itu merupakan dasar bagi polisi untuk membantu menangkap Anggoro. Alih-alih menangkap Anggoro, kata Rifai, Susno Duaji justru menemui Anggoro di Singapura pada 10 Juli 2009.
"Yang perlu diusut adalah apakah menemui DPO di Singpura itu dengan persetujuan Kapolri atau tidak. Jika dengan persetujuan Kapolri, berarti pertanggungjawaban hukum itu ada di Kapolri juga," kata Rifai.
Selain itu, Polri dianggap tidak menindaklanjuti laporan dugaan pemalsuan surat pencabutan cegah (larangan pergi ke luar negeri) terhadap pengusaha Anggoro Widjojo.
Sebelumnya diberitakan, dugaan suap kepada pimpinan KPK bertujuan untuk mencabut cegah Anggoro. Namun, KPK berhasil menemukan bahwa surat pencabutan cegah atas nama Anggoro palsu.
Oleh karena itu, KPK melaporkan dugaan pemalsuan itu ke polisi. "Nah sampai sekarang kan tidak pernah diusut. Ini merupakan kejanggalan lain," kata Rifai.
Selain itu, tim pengacara Bibit dan Chandra juga akan melaporkan adanya kesaksian tertulis yang ditandatangani oleh seorang bernama Ary Muladi dan Anggodo Widjojo.
Keterangan tertulis tertanggal 15 Juli 2009 itu merupakan kronologi dugaan suap kepada jajaran petinggi KPK.
Menurut Rifai, Polri seharusnya tidak menjadikan keterangan tertulis itu sebagai dasar menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Seharusnya, Polri mengusut kebenaran kesaksian itu terlebih dulu sebelum menetapkan tersangka.
"Ini sangat tidak fair," kata Rifai.
Apalagi, pihak Ary Muladi sudah membantah kronologi penyuapan seperti termuat dalam keterangan tertulis itu.
(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009