Ramlan, laki-laki muda yang baru beranjak dewasa asal Purwakarta, Jawa Barat, mulanya bukanlah siapa-siapa. Nama dia menjadi istimewa usai gempa dahsyat, berkekuatan 7,9 pada skala richter, yang meluluhlantakan Tanah Minang pada 30 September.

Cara laki-laki berusia 18 tahun itu menyelamatkan diri dari reruntuhan di lantai enam gedung Telkom, Kota Padang, membuat namanya banyak diperbincangkan.

Ramlan memotong kaki kanannya sendiri supaya bisa menyelamatkan diri dari reruntuhan gedung yang menghimpitnya. Cara dia menyelamatkan diri itu pasti membuat perasaan orang bercampur aduk.

Banyak dari mereka yang mengetahui cerita Ramlan dari televisi dan koran lantas menjadikan dia sebagai lambang penyelamatan diri atas sumber inspirasi atas perjalanan hidup umat manusia untuk tetap sintas.

Boleh jadi Ramlan kini telah menjadi motivator hidup, mengalahkan para tokoh penyebar motivasi yang sering muncul di layar televisi, karena dia terbukti berani membuat keputusan besar pada saat-saat genting.

Di atas semua sanjungan, simpati, empati, rasa prihatin, yang dilayangkan berbagai kalangan padanya, hanya satu hal terpenting bagi dirinya bahwa ia memilih hidup.

Tidak ada pertimbangan lain saat ia mengambil cangkul dan berupaya memisahkan betis kanannya, yang terhimpit reruntuhan, dari bagian tubuh yang lain.

Ia mengaku tidak ingin gempa susulan yang mungkin terjadi saat itu "mengambil" kesempatannya untuk tetap hidup.

Pada saat letih mencangkuli betis kanannya yang belum juga putus, akhirnya ia menggapai telepon genggam dan meminta tolong rekannya, Eman, untuk datang menolong dan menggergaji hingga putus kaki kanannya itu.

Setelah sempat tak tertangani di Rumah Sakit Selasih yang juga sebagian rusak akibat gempa, Ramlan dilarikan ke Rumah Sakit Yos Sudarso, dan ditempatkan di tenda darurat berwarna biru di sisi kiri rumah sakit usai menjalani operasi selama hampir empat jam.

Melanjutkan hidup

Hidup, yang dipilih dan akan dihadapi Ramlan, tanpa ia sadari adalah hidup yang mengharuskan ia bekerja lebih keras lagi dan tanpa putus asa.

Dan semangat untuk memperjuangkan hidup kembali ia tunjukkan sesaat setelah ia siuman pascaoperasi, dengan meminta kaki palsu.

Sama halnya dengan korban gempa lainnya di Sumatra Barat, Ramlan ingin segera beranjak dari keterpurukan dan kembali berkarya.

Banyak dermawan yang tergerak hatinya mengabulkan permintaan Ramlan untuk segera menggunakan kaki palsu.

"Ramlan, sejak banyak muncul di televisi dan koran, banyak sekali yang datang menawarkan kaki palsu," kata seorang staf Rumah Sakit Yos Sudarso bernama Nur.

Banyak sekali instansi maupun perorangan yang bersimpati memberikan bantuan. Tidak hanya kaki palsu tapi bantuan-bantuan lain, ujar dia.

"Bisa jadi setiap hari kaki palsunya ganti warna," kata Nur mengikuti kelakar yang biasa Ramlan dan kerabatnya ucapkan.

Sebelas hari setelah gempa dahsyat itu terjadi, Ramlan mulai menutup diri pada hal-hal yang berhubungan dengan bencana yang memaksa ia kehilangan kaki kanannya.

Berbagai kunjungan dari pihak-pihak yang bersimpati termasuk media massa ditolaknya.

"Dia bosan membicarakan kejadian gempa, dia trauma, dia sudah tidak mau bertemu media lagi," katanya.

Laki-laki muda bertubuh kurus itu hanya tampak tergolek pasrah di atas ranjang rumah sakit, menanti izin dari dokter untuk bisa segera pulang ke rumah, tempat ibu dan bapaknya menanti.

Hari ketiga belas pascagempa, Erman, kerabatnya yang membantu menyelamatkan Ramlan, mengatakan, akan membawa Ramlan pulang ke Purwakarta.

"Hari Selasa (13/10) nanti saya pokoknya mau minta supaya Ramlan bisa dipulangkan ke Purwakarta. Sudah beberapa kali mundur," ujar Erman, yang wajahnya juga sudah tampak lelah.

Jika memang perusahaan tempat Ramlan bekerja tidak mau memulangkannya, kata dia, ia akan menerima tawaran lain, seperti tawaran Manohara yang mau membawa kerabatnya itu pulang.

Ramlan merupakan bagian dari 18 orang tukang yang sedang mengerjakan sebuah proyek di gedung yang runtuh itu. Dia bekerja di sana sejak seminggu setelah Lebaran.

Ramlan, seperti tergambar dalam perbincangan dengan Erman, hanya ingin melanjutkan hidupnya. Untuk itu ia perlu pulang, menghimpun kekuatan dengan menemui orang-orang yang ia cintai, sebelum akhirnya kembali tantangan hidup lainnya. (*)

Oleh Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009