Banda Aceh (ANTARA News) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meluncurkan buku berjudul "Mereka yang Dilupakan" yang merupakan testimoni para keluarga korban pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) di Provinsi Aceh.
Peluncuran buku yang berlangsung di Banda Aceh, Selasa, tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pekan kampanye anti penghilangan orang secara paksa yang digelar oleh 210 keluarga korban sejak 10 Oktober 2009.
Peluncuran buku tersebut juga diisi dengan diskusi untuk menanggapi buku itu. Sebagai pembicara hadir Saifuddin Bantasyam, akademisi dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Adi Warsidi (wartawan Tempo), dan Asiah Uzia (Wakil Koordinator KontraS Aceh).
Buku setebal 89 halaman tersebut berisi berbagai kesaksian dan pengalaman yang dituturkan oleh keluarga korban.
Setiap topik menggambarkan kronologis sejak peristiwa bermula, dilanjutkan dengan kondisi keluarga korban atau ahli waris setelah empat tahun perdamaian Helsinki terwujud.
Kemudian diakhiri dengan harapan dan tuntutan keluarga korban kepada otoritas pemerintah, pegiat HAM, pelaku konflik masa lalu, serta seluruh masyarakat Aceh.
Asiah Uzia menyatakan, buku ini diharapkan menjadi barang bukti bagi penegak hukum untuk mengungkap pelanggaran HAM di Aceh masa lalu.
Penerbitan buku tersebut juga untuk menempatkan korban kekerasan di Aceh beserta peristiwa yang melatarbelakanginya sebagai sejarah yang harus dikenang sepanjang masa, agar kejadian yang sama tidak terulang lagi pada masa depan.
Di sisi lain, buku itu merupakan dokumen pengingat bagi seluruh pegiat HAM di Aceh, terutama KontraS Aceh bahwa kasus-kasus kekerasan di daerah ini masih berbentuk catatan yang belum terselesaikan secara adil dan bermartabat.
Sementara itu, Saifuddin yang merupakan aktivis HAM itu menyambut baik diluncurkannya buku tersebut, karena semua pihak bisa mendengar kembali pengakuan keluarga korban yang mulai menghilang.
Peluncuran buku tersebut juga merupakan momentum bagi pemerintah untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh dengan membentuk Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Adiwarsidi juga menyampaikan keberadaan buku tersebut juga diharapkan menggugah Pemerintah Aceh agar peduli terhadap keluarga korban pelanggaran HAM yang sampai sekarang ini belum dilakukan.
Disebutkan, cerita yang ditulis di buku itu merupakan gambaran kisah-kisah yang tercecer di Aceh yang belum terselesaikan setelah empat tahun perdamaian Helsinki berjalan di provinsi ini.
Dikatakan, sebenarnya masih banyak lagi kesaksian yang belum diungkapkan dalam buku tersebut, karena ada keluarga korban yang tidak berani. (*)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009