Masih terbentur regulasi yang ada, bagaimana tata cara penetapan ‘waterbase’ tersebut mengingat keberadaan banyak melibatkan subsektor dirjen perhubungan laut dan darat
Jakarta (ANTARA) - Bandara perairan masih menghadapi berbagai tantangan, yakni terkait izin berlapis karena melibatkan berbagai subsektor di Kementerian Perhubungan serta kementerian/lembaga lain.
“Masih terbentur regulasi yang ada, bagaimana tata cara penetapan ‘waterbase’ tersebut mengingat keberadaan banyak melibatkan subsektor dirjen perhubungan laut dan darat,” kata Kepala Sub Direktorat Kebandarudaraan dan Lingkungan Prio Budiono dalam webinar di Jakarta, Jumat malam.
Selain itu, lanjut dia, belum ada regulasi internasional yang menjadi acuan untuk pengaturan pengoperasian bandara perairan tersebut.
“Saat ini kami tengah menyusun regulasi-regulasi tersebut karena kondisi belakangan ini, kegiatan ini diprioritaskan,” ujarnya.
Prio menuturkan saat ini sejumlah pemda telah bersurat kepada Menteri Perhubungan yang menyatakan keinginan untuk membangun bandara perairan di wilayahnya.
Ditjen Perhubungan Udara juga tengah mengkaji ulang aturan yang ada terkait bandara perairan, di antaranya “manual of standard” (MOS) dan prosedur penetapan lokasi bandara perairan.
Pada tatanan global, Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub juga telah meyakinkan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO)saat Assembly ke-40 untuk mengembangkan Annex khusus terkait desain, sertifikasi, dan operasi badara perairan.
Prio mengatakan bandara perairan sejatinya dibutuhkan Indonesia yang secara geografis sebagai negara kepulauan untuk penyediaan transportasi di daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh kapal-kapal besar.
Saat ini terdapat lima bandara perairan di Indonesia, di antaranya Benete di Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat, Amanwana di Pulau Moyo Nusa Tenggara Barat, Kahayan di Kalimantan Tengah dan Pulau Bawah di Pulau Anambas, Riau.
“Kami beraharap pengmbangan bandar udara ‘waterbase’ diaplikasikan di Indonesia, hubungan antara subsektor terkait berjalan mulus. ‘waterbase’ dapat dibangun dan dibuat, dapat terlaksana dengan baik,” ujarnya.
Dalam kesempatan sama, Inspektur Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Capt Ali Ridho mengatakan izin pengoperasian maskapai di bandara perairan bukan hanya di Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara dan Direktorat Bandar Udara, melainkan juga Syahbandar, Pemda, Bupati atau Walikota, bahkan Kementerian Kelautan dan Perikanan apabila wilayahnya termasuk laut terbuka (open sea).
“Belum lagi Polri, aparat setempat, bahkan airfast saat terlibat water sport itu izin trainingnya itu melibatkan TNI AU, AD dan AL.
Direktur Utama Airfast Indonesia mengakui pengoperasian pesawat terbang apung (seaplane) menghadapi tantangan tersendiri karena berada di darat yang statis dan laut yang dinamis.
“Seaplane sangat berbeda tuntutannya, land sangat static water itu dynamic memiliki dua fakor variable ini. ‘Risk assesment’ sangat tingi. Dari sisi kru, training ini menjadi critical, kompetensi pilot seaplane sangat sulit dan membutuhkan waktu yang cukup panjang,” katanya.
Baca juga: Wamen BUMN: Transportasi udara perlu desain ulang di era New Normal
Baca juga: Indonesia sepakati 2 perjanjian internasional transportasi udara
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020