"Tidak ada aksi pengrusakan, hanya tempatnya dipindahkan ke desa lain dari rencana semula di Desa Bandaran, menjadi ke Desa Ambat Kecamatan Tlanakan," kata Bambang kepada ANTARA, Senin pagi.
Pernyataan Bambang mengklarifikasi pemberitaan media mengenai keributan di Desa Bandaran, dimana sebuah panggung pengajian jemaah Wahidiyah dikabarkan dirusak karena kelompok itu dianggap aliran sesat.
"Fakta yang terjadi, tempat pengajiannya hanya dipindah, tapi oleh media justru dinyatakan telah terjadi pengrusakan," tegas Bambang.
Dia menjelaskan, pengajian Wahidiyah akan tetap digelar malam ini (Senin malam) dan akan dihadiri sejumlah tokohnya, diantaranya K.H. Abdul Latif pengasuh pesantren Kedunglo, Kediri.
"Tidak ada protes apa-apa. Hanya tempatnya memang dipindah dan itu yang memindahkan panitia sendiri karena lokasinya sempit. Jadi bukan dirusak," katanya.
Menurut warga Desa Bandaran, yang dipersoalkan mereka dan aparat desa adalah, Wahidiyah tidak berkoordinasi dahulu akan mengadakan kegiatan itu sehingga warga desa memprotes jemaah itu.
Sholawat Wahidiyah lahir di Pondok Pesantren Kedunglo Kota Kediri Jawa Timur pada tahun 1963.
Pada prinsipnya ajaran Wahidiyah ini sama dengan ajaran Islam lainnya, yaitu menganjurkan memperbanyak membaca salawat dan amalan bacaan salawat.
Yang membedakan adalah aturan khusus kepada anggota jemaatnya yang disebut kaum Wahidiyin disebut "mujadalah" atau menghayati kehadiran rasul dalam dirinya saat membaca salawat, dengan tujuan meningkatkan kecintaan kepada Allah dan rasulullah.
Ajaran yang berpusat di pondok pesantren Kedunglo, Kediri, ini sempat diprotes sesama muslim, bahkan pada 2007 Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tasikmalaya melarangnya.
Fatwa MUI itu tidak berlaku, sedangkan umat muslim yang awalnya menolak berubah menerima dengan alasan membaca salawat memang dianjurkan bahkan diperintahkan agama. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009