Camat Genteng Linda Novanti di Surabaya Kamis mengatakan untuk menemukan warga yang terkonfirmasi COVID-19 tidak mudah sebab kerap kali data yang diterimanya dari Gugus Tugas Penanganan COVID Provinsi Jatim melalui Dinas Kesehatan Surabaya tidak sesuai dengan kependudukan warganya.
"Bahkan pernah ada dua nama yang usianya beda pula, namun tertulis di alamat yang sama," katanya.
Baca juga: Pasukan "Detektif" Kota Bogor siap lacak penyebaran COVID-19
Setelah dilakukan pelacakan dengan pihak Puskesmas ternyata dua nama itu hanya ada satu orang yang sama dan sudah tidak tinggal di Kota Surabaya.
"Setelah kita sisir ternyata orang tersebut hanya ada satu orang dan sudah tidak tinggal di Surabaya selama tiga bulan," ujarnya.
Baca juga: Cek Fakta: Pemindaian barcode di mal untuk lacak pengunjung positif COVID-19?
Menurutnya warga tersebut mengakui sudah bekerja di luar kota dan pulang ke Surabaya hanya untuk menjalani pengobatan.
"Artinya, di sini hanya ada satu warga, bukan dua. Tapi data yang kami terima itu ada dua orang. Datanya itu tertulis double. Kami sudah lakukan verifikasi dan sudah beres," katanya.
Baca juga: Surabaya lacak penularan COVID-19 di acara pelantikan kepala sekolah
Hal sama juga dikatakan Camat Wonokromo Tomi Ardiyanto. Ia mengakui sering menemukan data tidak singkron antara KTP yang terdaftar dengan domisili berbeda seperti yang dialaminya ketika mencari data warga bernisial A.
"Setelah ditelusuri ternyata warga tersebut sudah 30 tahun tidak tinggal di Surabaya," katanya.
Tomi mengatakan hal itu seringkali ditemukan. Bahkan, lanjut dia, pihaknya butuh waktu untuk menemukan pergerakan orang itu karena secara administrasi kependudukannya itu ada, tapi tidak tinggal di sana.
"Kami sudah tanyakan kepada warga setempat, RT/RW dan juga tetangga dekatnya," ujarnya.
Setelah melakukan verifikasi data tapi tidak ditemukan, lanjut dia, maka langkah berikutnya adalah membuat berita acara atau surat keterangan. Dalam surat keterangan tersebut dilaporkan bahwa warga atas nama A itu tidak ada dalam wilayahnya itu.
"Kadang juga ada rumahnya yang kosong. Jadi, surat itulah yang menjadi dasar pemerintah kota kalau sudah melakukan verifikasi dan klarifikasi tentang keberadaan pasien konfirmasi COVID-19 itu," ujarnya.
Senada dengan itu, hal sama juga dirasakan oleh Camat Tambaksari, Ridwan Mubarun. Ia bercerita pada 1 Juni 2020, salah seorang warganya dari Kecamatan Tambaksari ternyata terkonfirmasi COVID-19 setelah melewati tes usap.
Setelah itu, kata dia, warga tersebut menjalani karantina di Asrama Haji selama 14 hari dan kemudian dites swab lagi dan hasilnya negatif.
"Tapi namanya masih saja muncul sebagai orang yang positif. Dia ternotifikasi dua kali, sehingga itu menambah jumlah pasien COVID-19 yang ada di Kota Surabaya," kata Ridwan.
Ketidaksingkronan data juga dirasakan oleh Camat Sawahan, Yunus. Ia mengakui saat warganya sudah dinyatakan sembuh dan sudah dilaporkan, namun nama itu seringkali muncul kembali. Kemunculannya itu tidak hanya dalam satu dua hari saja, tapi nama itu muncul lagi setelah satu minggu berikutnya, padahal dia sudah dinyatakan sembuh.
"Jadi, terkait data yang double itu nyata adanya. Kalau selisih sehari dua hari tidak ribet. Tapi kalau sudah seminggu atau sepuluh hari muncul lagi, nah ini sangat ribet. Ada yang sudah dilaporkan, tapi muncul lagi, dilaporkan lagi, muncul lagi. Ini kan aneh," kata Yunus.
Camat Karang Pilang Eko Budi Susilo juga menjelaskan berbagai kendala yang dialaminya. Namun, ia mengakui bahwa berbagai kendala itu tidak menyurutkan niatnya untuk gencar melakukan tracing di wilayah Karang Pilang. Bahkan, kerap kali saat tracing ia mengalami penolakan dari warga.
"Ada yang konfirm COVID-19 tapi sama anggota keluarganya malah disembunyikan. Tapi kami terus berupaya dan berkunjung dengan tiga pilar, hingga akhirnya kami berhasil mengatasinya," katanya.
Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2020