Tuban (ANTARA News) - Dengan duduk "berselonjor" di atas lantai tanah, Rasti (50), terus memainkan kedua tangannya di atas peralatan tenun dari kayu jati yang bernama "kemplongan".
Dengan tempo yang tetap, terdengar suara dog, dog, dog berulang-ulang, sesekali suara itu berhenti, karena warga Desa Kedungrejo itu, harus menyambung benang "lawe" yang putus.
"Saya belajar membuat kain bahan batik gedog sejak kecil dari mbah-mbah," katanya, kepada ANTARA, tanpa menoleh dari peralatan "Kemplongannya". Tidak jauh dari tempatnya duduk saudaranya, Ratmi (47), memilah benang "lawe", yang ditempatkan di atas peralatan selebar 0,30 meter yang bisa diputar.
Di bagian luar rumah, Lastri (43), yang juga masih saudaranya, duduk didepan rumah di dekat pintu sedang menyusun "benang lawe", untuk dipersiapkan dimasukkan keperalatan "kemplongan".
Sementara itu, untuk menenun benang "lawe", agar bisa menjadi bahan batik gedog, siap jadi yang panjangnya bisa 2 meter atau 3 meter, masing-masing lebarnya 85 cm, membutuhkan waktu berkisar dua hari.
Perhitungannya, setiap potong bahan kain batik gedog itu, membutuhkan benang "lawe" sekitar 1,5 kilogram. Sebagaimana yang dijelaskan Ketua Kelompok Batik Gedog Sekar Ayu Desa Kedungrejo, Kecamatan Kerek, Uswatun Hasanah, batik gedog yang sudah dikenal akrab masyarakat, sesungguhnya nama aslinya batik Jawa.
Namun, lanjutnya, karena dalam proses pembuatannya, selalu terdengar suara dog, ketika perajin merapatkan benang "lawe" dengan peralatan "uro", salah satu bagian peralatan "kemplongan". Berangkat dari itu, tenun karya perajin batik setempat dikenal dengan nama batik gedog.
Dalam perkembangannya, menurut Uswatun dan Rasti, suara dog yang ditimbulkan dari peralatan "kemplongan" itu, bunyinya sudah berubah. Hampir mayoritas suaranya sudah tidak lagi, dog, namun "jrek". Masalahnya, warga setempat sejak lima tahun yang lalu, mulai mengganti "cacak kemplongan" dengan bambu.
Digantinya salah satu peralatan itu, ketika seorang perajin merapatkan benang "lawe" dengan "uro", tidak terdengar lagi suara dog. Suaranya berubah menjadi "jrek", karena munculnya suara dog, berasal dari pantulan kayu yang lentur, ketika perajin merapatkan benang "lawe".
"Kalau semua perajin sudah mengganti peralatan dengan bambu, bisa muncul nama baru di sini batik `gejrek`," kata Uswatun Hasanah dengan nada bersungguh-sungguh.
Dalam buku "Batik Fabled Cloth of Java" karangan Inger McCabe Elliot tertulis, ada kemiripan batik gedog Tuban dengan batik Cirebon, yang tumbuh pertengahan abad XIX. Kemiripan ini terjadi pada penggunaan benang pintal dan penggunaan warna merah dan biru pada proses pencelupan.
Perbedaannya, batik gedog Tuban tetap bertahan dan terus berkembang dengan warna khas nila, kegelap-gelapan. Sedangkan batik Cirebon, mengalami perubahan, karena adanya perubahan Kota Cirebon sendiri dalam berbagai bidang.
"Batik gedog warna biru masih dipertahankan, karena diyakini bisa menyembuhkan penyakit," kata Uswatun.
Meski berkembang, menurut dia, bukan berarti batik gedog Tuban tidak menghadapi masalah. Semakin tahun, jumlah perajin tahun terus menyusut yang semula di tahun 1980 jumlahnya 500 perajin, sekarang ini hanya berkisar 200 perajin.
"Pekerjaan menenun batik gedog hanya diminati orang tua, sedangkan generasi muda sama sekali tidak ada yang berminat belajar menenun, lebih memilih membatik," katanya menjelaskan.
Dia mencontohkan, di keluarga Rasti, hingga ibunya, Ny. Rasiam (90), secara turun temurun menekuni menenun batik gedog. Sayangnya, Tatik (20), cucu Rasiam tidak bersedia belajar menenun batik gedog, hanya belajar membatik.
"Karena generasi muda di sini tidak ada yang bersedia menenun, akhirnya bisa saja batik gedog punah," katanya dengan nada prihatin. Itupun pekerjaan menenun batik gedog yang dilakukan perajin, hanya dilakukan pada musim kemarau. Pada musim hujan, perajin batik gedog beralih bekerja sebagai petani, karena menenun batik gedog, masih dianggap sebagai pekerjaan sambilan.
Dengan kondisi itu, kata Uswatun, sering mempengaruhi penjualan batik gedog, karena keterlambatan dalam pemproses bahan batik gedog. "Kalau musim kemarau begini saya berusaha menyetok bahan batik gedog sebanyak-banyaknya," jelasnya.
Padahal, sebagaimana diungkapkan Uswatun, keberadaan batik gedog, sama sekali tidak terpengaruh dengan masalah ekonomi, seperti krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997 lalu. Alasannya, semua bahan batik gedog dihasilkan dari wilayah setempat.
Di sejumlah desa di Kecamatan Kerek, Tuban, yang dikenal sebagai sentra perajin batik gedog, mulai Desa Kedungrejo, Jarorejo, Margorejo, Gaji dan desa lainnya, hampir semua petaninya, menanam kapuk kapas yang dimanfaatkan untuk membuat "lawe".
Menurut dia, kebutuhan kapas yang diperkirakan mencapai 1 ton lebih per bulan, tidak pernah ada masalah. Sebab, kalau stok kapas kosong, ada pasokan kapas produksi Kudus, Jawa Tengah. Dalam pewarnaan, semua bahannya produksi lokal dari bahan alami berbagai macam jenis pohon.
Untuk warna biru memanfaatkan daun indigo yang bertumbuhan di wilayah setempat. Sedangkan warna coklat bisa memanfaatkan kulit kayu mahoni, tinggi, secang jaranan yang tidak sulit di dapat di berbagai tempat.
Dengan kekhasan batik gedog yang tradisional itulah, semakin tahun keberadaannya diburu pembeli lokal dan luar negeri, di antaranya Jepang dan Amerika Serikat.
Pembeli tertarik batik gedog, karena bahannya yang kasar dan tradisional dengan berbagai motif batik yang merupakan perpaduan antara pengaruh kebudayaan Jawa, Islam dan Tiongkok.
Uswatun mengaku, pemasaran khusus batik gedog produksinya di Bali, bisa mencapai 50 potong per bulannya terdiri dari berbagai jenis batik gedog mulai selendang, jarit orang Bali dan kain baju batik gedog dengan harga mulai terendah Rp50.000,00 hingga Rp150.000,00 per potong.
"Melihat prospek batik gedog yang semakin diminati saya tetap berusaha mempertahankan dengan membuat motif baru, termasuk mendorong warga untuk menenun batik gedog dan hasilnya saya beli dengan harga tinggi," katanya.
Dengan jumlah 200 perajin batik, sekitar 100 perajin diantaranya perajin batik gedog, hasilnya dibeli dengan harga mulai Rp40.000,00 hingga Rp80.000,00 per potongnya, bergantung kualitas.(*)
Oleh Slamet Agus Sudarmojo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009