Jakarta (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Direktorat Jenderal Bea Cukai sudah memeriksa 1.121 kontainer berisi limbah non bahan beracun dan berbahaya (B3) ilegal selama Februari 2019 sampai dengan Mei 2020.
"Limbah bahan baku industri pada dasarnya yang jadi masalah bukan impor limbah atau bahan bakunya, tetapi permasalahannya adalah impor scrap plastik atau kertas ternyata mengandung limbah," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI di Jakarta, Rabu.
Pemeriksaan bersama, menurut Siti, dilakukan atas permintaan Ditjen Bea Cukai. Hasilnya pemeriksaan telah dilakukan pada 1.121 kontainer dengan total yang dianggap bersih dan dilepas ke importir mencapai 685 kontainer, sedangkan yang direekspor atau yang terkontaminasi sampah dan atau limbah B3 ada 436.
Dari 436 kontainer yang terkontaminasi, ia mengatakan sudah ada 304 yang direekspor, sedangkan 132 lainnya masih menunggu persetujuan dari negara sumber limbah.
Ketua Komisi IV DPR RI Sudin mempertanyakan siapa pihak yang akan memastikan setiap kontainer limbah impor toleransi kandungan material ikutannya tidak lebih dari 2 persen. Selain itu, di mana pelaksanaan pemusnahannya akan dilakukan mengingat ada kekhawatiran justru akan menimbulkan pencemaran jika dilakukan di lokasi pemilik barang.
Ia mengatakan Komisi IV pada Kamis (9/6), akan melakukan rapat kerja gabungan dengan memanggil pihak importir, industri, serta kementerian terkait untuk membahas lebih lanjut persoalan impor limbah untuk bahan baku tersebut.
SKB impor limbah
Siti mengatakan pembahasan intensif antara KLHK, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kapolri dipimpin oleh Sekretariat Kabinet telah dilakukan dan menghasilkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pelaksanaan Impor LImbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri, yang ditanda tangani 27 Maret 2020.
SKB tersebut berisi lima poin, yang antara lain, pertama, SKB digunakan sebagai Pedoman Pelaksanaan Impor Limbah Non B3 sebagai bahan baku. Kedua, toleransi kandungan material ikutan untuk kelompok kertas dan plastik ditetapkan sebesar 2 persen.
Ketiga, toleransi kandungan minyak, emulsi minyak, minyak pelumas dan minyak gemuk (grease) untuk kelompok logam berupa scrap besi atau baja secara kasat mata dalam jumlah sedikit dan tidak menetes.
Keempat, para pihak terkait dalam SKB menyusun peta jalan pengelolaan limbah non B3 sebagai bahan baku industri yang mencakup antara lain, pengurangan batasan toleransi kandungan material ikutan, penurunan kuota impor secara bertahap yang disesuaikan dengan ketersediaan bahan baku industri kelompok kertas dan kelompok plastik dalam negeri, serta peta jalan disusun paling lambat enam bulan sejak SKB ditetapkan.
Kelima, dalam rangka pengawasan impor limbah non B3, Menteri Perdagangan membentuk Satuan Tugas Impor Limbah Non B3 yang beranggotakan paling sedikit pejabat atau perwakilan dari Kementerian Perdaganan, KLHK, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, dan Polri.
"Ini memang tidak mudah karena terkait dengan kehidupan dari industri daur ulang plastik maupun kerta," ujar Siti.
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR Suhardi Duka mengaku sulit percaya jika SKB tersebut akan menyelesaikan permasalahan. "Enggak ada teknologi yang bisa deteksi berapa persen ikutan sampah di kontainer. Kalau diperiksa semua sekian konteiner omong kosong".
Baca juga: Tekan impor limbah plastik, Pertamina EP perkuat bank sampah Nunukan
Baca juga: Dua warga Singapura tersangka kasus impor limbah terkontaminasi B3
Baca juga: Sebanyak 467 kontainer limbah impor di Batam proses reekspor
Baca juga: KLHK periksa ratusan kontainer berisi plastik impor
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2020