Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Iwan Syahril mengatakan yang terpenting dalam kurikulum pendidikan sesungguhnya adalah keteladanan.

"Kurikulum terpenting bagi anak-anak kita dalam masa pandemi COVID-19 adalah teladan semua orang dewasa yang ada di sekitar mereka. Kita ada opsi untuk mengeluh dan menyerah, namun kita juga ada opsi untuk bangkit dan berjuang. Berilah teladan terbaik karena itulah kurikulum yang akan berbekas dan berdampak di sepanjang hidup anak-anak kita," ujar Iwan dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Jika dikaitkan dengan filsafat Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara yakni Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani dapat berperan dalam aktualisasi nilai-nilai Pancasila.

Murid-murid didorong untuk menjadi teladan-teladan. Ketika gurunya memberikan teladan.

Baca juga: Indonesia dinilai alami krisis keteladanan di sekolah-sekolah

Baca juga: MPR apresiasi keteladanan dua prajurit TNI tunjukan solidaritas sosial

"Jadi kalau kita menggunakan filsafat Ki Hajar Dewantara, ketika gurunya di depan memberikan teladan. Ketika gurunya di tengah memberikan motivasi. Memotivasi supaya murid bisa menjadi teladan-teladan dari nilai Pancasila tersebut dan bisa membuat mereka mandiri sebagai agen perubahan dan menjadi teladan bagi sekitarnya pula," kata Mantan Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Sampoerna itu.

Dia memberi contoh bagaimana penulis surat paling inspiratif pada lomba menulis surat untuk Mendikbud Nadiem Makarim pada masa pandemi COVID-19, yakni Santi Kusuma Dewi dan Maria Yosephina Morukh.

Santi selama Ramadhan, mengajak siswa-siswanya menggalang dana. Dengan memanfaatkan kekuatan media sosial, membuat akun Instagram dengan nama @celenganrindukita. Santi menggerakkan kebaikan di hati tiap orang untuk membantu sesama melalui donasi dengan kekuatan media sosial.

Santi juga mengajarkan siswa-siswanya bermain coding (meski dirinya adalah guru Bahasa Inggris) serta menggunakan Google Earth sebagai media pembelajaran guna mengajak siswanya "keliling dunia".

Sedangkan Maria adalah guru honorer yang mengajar di daerah pedalaman yang jauh dari perkotaan dimana fasilitas jaringan internetnya kadang hilang muncul, serta siaran TVRI tidak dapat. Siswa di daerah tersebut tidak memiliki ponsel sehingga tidak memungkinkan pembelajaran secara daring (online).

Maria melakukan jadwal kunjung anak dari rumah ke rumah. Dalam satu hari, ia menempuh lima rumah dengan menggunakan sepeda motor. Pada kunjungan ke rumah, Maria mengingatkan siswa menjaga kebersihan terutama mencuci tangan dan menggunakan masker apabila bepergian keluar rumah.

"Ini sebenarnya pengejawantahan nilai-nilai Pancasila itu sendiri dalam konteks yang sangat riil. Jadi tidak dalam konteks terlalu abstrak yang tadi kita baca sila-sila tersebut, seolah-olah itu jauh, tapi aktualisasi nilai-nilai itu sangat dekat dan sangat hadir," terang dia.

Iwan menegaskan bahwa banyak sekali pahlawan-pahlawan yang selama ini tidak terlihat atau terdengar masyarakat, silent heroes, yang bergerak dalam kesunyian dan tidak dipublikasikan media.

"Tapi sebenarnya di situ banyak hidup nilai-nilai Pancasila. Itu bisa menjadi teks yang bisa dibawa para pendidik ke dalam ruang-ruang pembelajaran," kata dia.

Iwan Syahril pun mengajak agar insan pendidikan berlomba-lomba menjadi teladan dalam aktualisasi nilai-nilai Pancasila.

"Keteladanan itu tidak perlu hal-hal yang heboh, harus terekspos atau bagaimana, tapi yang paling penting adalah kita bisa membawa perubahan pada kehidupan orang lain. Besar kecilnya itu tidak masalah dan ini sangat bisa sekali. Apalagi di saat kondisi bencana seperti saat ini. Ruang-ruang untuk bisa bergotong royong, memberikan keteladanan sangat besar sekali," kata Iwan lagi.*

Baca juga: Hidayat Nur Wahid mengenang keteladanan Gus Sholah

Baca juga: Risma beri contoh sikap keteladanan tidak ambisi di Pilkada Surabaya

Pewarta: Indriani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020