"Kami memperoleh informasi intelijen nyata... bahwa pemberontak garis keras berencana melancarkan serangan-serangan bunuh diri yang lebih menghancurkan terhadap pasukan penjaga perdamaian Afrika yang membantu pemerintah," kata jurubicara kepolisian Abdullahi Hassan Barise kepada wartawan.
"Kelompok-kelompok garis keras sudah memasang peledak pada sejumlah kendaraan seperti mobil yang digunakan oleh polisi dan ambulan serta sepeda-motor untuk melancarkan serangan-serangan bunuh diri," katanya, dengan menambahkan bahwa aparat berada dalam keadaan siaga tinggi.
Bulan lalu kelompok al-Shabaab yang diilhami Al-Qaeda melancarkan serangan bunuh diri terhadap pasukan AU di Mogadishu dengan menggunakan dua kendaraan PBB, menewaskan 21 orang, termasuk 17 prajurit penjaga perdamaian.
Beberapa hari kemudian, Sheikh Hassan Dahir Aweys, pemimpin milisi Hezb al-Islam yang lebih politis mendesak serangan bunuh diri lebih lanjut terhadap pasukan penjaga perdamaian.
Serangan terhadap pasukan AU yang mencakup sekitar 5.000 prajurit Burundi dan Uganda merupakan yang terburuk sejak mereka ditempatkan di negara itu pada awal 2007.
Utusan AU untuk Somalia Nicolas Bwakira mendesak mandat lebih besar bagi pasukan penjaga perdamaian agar mereka memiliki wewenang untuk bertindak bila dan pada saat diperlukan.
Gerilyawan al-Shabaab, kelompok yang diilhami al-Qaeda, dan kelompok lebih politis Hezb al-Islam meluncurkan ofensif militer mematikan terhadap pemerintah Somalia dukungan internasional pada Mei lalu.
Pertempuran terpusat di daerah-daerah baratdaya dan ibukota, Mogadishu, dimana bentrokan-bentrokan sering terjadi di kawasan berpenduduk padat yang menewaskan ratusan orang dan menterlantarkan setengah juta dalam kurun waktu empat bulan.
Kekerasan di Somalia telah menewaskan lebih dari 18.000 orang dalam dua tahun terakhir dan membuat satu juta orang mengungsi.
Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Penculikan, kekerasan mematikan dan perompakan melanda negara tersebut.
Sejak awal 2007, gerilyawan menggunakan taktik bergaya Irak, termasuk serangan-serangan bom dan pembunuhan pejabat, pekerja bantuan, intelektual dan prajurit Ethiopia.
Ribuan orang tewas dan sekitar satu juta orang hidup di tempat-tempat pengungsian di dalam negeri akibat konflik tersebut.
Pemerintah sementara telah menandatangani perjanjian perdamaian dengan sejumlah tokoh oposisi, namun kesepakatan itu ditolak oleh al-Shabaab dan kelompok-kelompok lain oposisi yang berhaluan keras.
Washington menyebut al-Shabaab sebagai sebuah organisasi teroris yang memiliki hubungan dekat dengan jaringan al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
Gerilyawan muslim garis keras, yang meluncurkan ofensif sejak 7 Mei untuk menggulingkan pemerintah sementara dukungan PBB yang dipimpin oleh tokoh moderat Sharif Ahmed, meningkatkan serangan-serangan mereka.
Tiga pejabat penting tewas dalam beberapa hari, yang mencakup seorang anggota parlemen, seorang komandan kepolisian Mogadishu dan seorang menteri yang terbunuh dalam serangan bom bunuh diri.
Selain pemberontakan berdarah, pemerintah Somalia juga menghadapi rangkaian perompakan di lepas pantai negara itu.
Pemerintah transisi lemah Somalia tidak mampu menghentikan aksi perompak yang membajak kapal-kapal dan menuntut uang tebusan bagi pembebasan kapal-kapal itu dan awak mereka.
Perompak, yang bersenjatakan granat roket dan senapan otomatis, menggunakan kapal-kapal cepat untuk memburu sasaran mereka.
Perairan di lepas pantai Somalia merupakan tempat paling rawan pembajakan di dunia, dan Biro Maritim Internasional melaporkan 24 serangan di kawasan itu antara April dan Juni tahun lalu saja.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009