"Untuk menghadapi tantangan di zaman sekarang, langkah menuju pendidikan yang lebih inklusif adalah keharusan. Memikirkan kembali masa depan pendidikan adalah yang paling penting setelah pandemi COVID-19, yang semakin melebar dan menyoroti ketidaksetaraan. Kegagalan untuk bertindak akan menghambat kemajuan masyarakat," kata Azoulay dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa.
Laporan GEM 2020 yang khusus terkait dengan kondisi krisis COVID-19 menyebutkan sekitar 40 persen dari negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak mengambil tindakan apapun untuk mendukung pelajar yang berisiko terabaikan selama krisis kesehatan saat ini.
Menurut dia, laporan tersebut juga mengingatkan bahwa kesempatan pendidikan masih diberikan secara tidak merata. Hambatan untuk pendidikan yang berkualitas masih terlalu tinggi bagi sebagian besar siswa, mengingat satu dari lima anak, remaja dan pemuda benar-benar ditolak dalam pendidikan.
Stigma, stereotip dan diskriminasi menandakan adanya lebih dari jutaan orang yang merasa terasing di dalam kelas.
Krisis pada saat ini, menurut dia, akan semakin melanggengkan berbagai bentuk pengecualian itu, dengan lebih dari 90 persen populasi siswa global yang dipengaruhi oleh penutupan sekolah terkait COVID-19, dunia berada dalam pergolakan gangguan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah pendidikan.
Ia mengatakan pelajaran dari masa lalu -seperti kasus Ebola- telah menunjukkan bahwa krisis kesehatan dapat menyebabkan ketertinggalan, khususnya pada anak-anak perempuan dari masyarakat termiskin, yang banyak di antaranya mungkin tidak akan pernah kembali ke sekolah.
Rekomendasi inti dari laporan itu, menurut Azoulay, agar semua pelaku pendidikan memperluas pemahaman mereka tentang pendidikan inklusif untuk mencakup semua siswa, terlepas dari identitas, latar belakang atau kemampuan mereka datang pada saat yang tepat ketika berusaha membangun kembali sistem pendidikan yang lebih inklusif.
Laporan GEM 2020 juga mengidentifkasi berbagai bentuk pengecualian, apa saja penyebabnya dan apa yang bisa dilakukan untuk menanganinya. Dengan demikian, itu merupakan sebuah panggilan aksi yang harus diperhatikan ketika berusaha membuka jalan bagi masyarakat yang lebih tangguh dan setara di masa depan.
"Panggilan untuk mengumpulkan data yang lebih baik, yang tanpanya kita tidak bisa memahami atau mengukur ruang lingkup masalah yang sebenarnya. Panggilan untuk membuat kebijakan publik yang jauh lebih inklusif, berdasarkan contoh-contoh kebijakan efektif yang saat ini berlaku, dan dengan bekerja sama untuk mengatasi kerugian yang bersilangan, seperti yang kita lihat berbagai Kementerian dan departemen pemerintahan sanggup menangani COVID-19," ujar dia.
Menurut dia, hanya dengan belajar dari tersebut dapat memahami jalan yang harus ditempuh di masa mendatang. UNESCO siap untuk membantu negara-negara dan komunitas pendidikan sehingga, bersama-sama dapat mengembangkan pendidikan yang sangat dibutuhkan dunia dan memastikan bahwa pembelajaran tidak pernah berhenti.
Untuk menjawab tantangan abad dua puluh satu, sebuah langkah menuju pendidikan yang lebih inklusif tak dapat ditawar, karena ia mengatakan kegagalan dalam bertindak tak boleh terjadi.
Direktur GEM Report Manos Antoninis mengatakan COVID-19 telah memberi kesempatan nyata untuk berpikir baru tentang sistem pendidikan global. Namun untuk berpindah ke dunia yang menghargai dan menyambut keberagaman tidak akan terjadi dalam semalam.
“Ada ketegangan yang jelas antara mengajar semua anak di bawah satu atap dan menciptakan lingkungan tempat siswa belajar terbaik. Tetapi, COVID-19 telah menunjukkan kepada kita bahwa ada ruang untuk melakukan sesuatu secara berbeda, jika kita mengarahkan pikiran kita kepadanya,” ujar dia.
Baca juga: UNESCO: Virus corona mengancam sejumlah museum dunia
Baca juga: Mendikbud: UNESCO dorong generasi ekonomi digital
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020