Brussel (ANTARA News/Reuters) - NATO hari Rabu mendesak Rusia meningkatkan peranannya di Afghanistan, antara lain dengan memperlengkapi dan melatih pasukan keamanan Afghanistan yang memerangi Taliban.

Sekretaris Jendral NATO Anders Fogh Rasmussen, yang mengulangi seruan agar sekutu Eropa meningkatkan komitmen mereka di negara itu ketika AS mendorong penambahan pasukan, mengatakan bahwa Rusia juga berkepentingan melakukan tindakan lebih lanjut.

Ia mengatakan, kesepakatan-kesepakatan yang mengizinkan transit kiriman militer ke Afghanistan melalui Rusia bisa diperluas.

"Kemudian, Rusia bisa menyediakan peralatan bagi pasukan keamanan Afghanistan. Ketiga, Rusia bisa memberikan pelatihan. Ini hanya beberapa contoh. Saya rasa kita perlu menjanjaki upaya bersama mengenai bagaimana kita harus mendorong peranan lebih lanjut Rusia," kata Rasmussen.

"Saya tahu dari orang-orang Rusia bahwa mereka ingin berperan lebih besar, dan kita harus mencari cara dan sarana karena pada dasarnya Afghanistan adalah salah satu daerah dimana kita berbagi kepentingan dengan Rusia," tambah pemimpin NATO itu pada jumpa pers bulanan.

Rusia telah menyatakan mendukung penuh upaya pimpinan AS untuk memerangi Taliban meski negara itu tidak mengirim pasukan mereka sendiri ke Afghanistan, dimana Moskow kalah dalam perang 10 tahun pada 1980-an.

NATO sedang berusaha mendorong penguatan pasukan kepolisian dan militer Afghanistan agar pada akhirnya bisa dilakukan penarikan pasukan Barat dari Afghanistan, dimana mereka beroperasi sejak penggulingan rejim Taliban dari kekuasaan.

Serangan-serangan Taliban terhadap aparat keamanan Afghanistan serta pasukan asing meningkat dan puncak kekerasan terjadi hanya beberapa pekan menjelang pemilihan umum presiden dan dewan provinsi pada 20 Agustus.

Terdapat lebih dari 100.000 prajurit internasional, terutama dari AS, Inggris dan Kanada, yang ditempatkan di Afghanistan untuk membantu pemerintah Presiden Hamid Karzai mengatasi pemberontakan yang dikobarkan sisa-sisa Taliban.

Lebih dari 300 prajurit asing tewas sejak Januari, yang menjadikan 2009 sebagai tahun paling mematikan bagi pasukan internasional sejak invasi pimpinan AS pada 2001 dan membuat dukungan publik Barat terhadap perang itu merosot.

Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.

Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.

Dalam salah satu serangan paling berani, gerilyawan tersebut menggunakan penyerang-penyerang bom bunuh diri untuk menjebol penjara Kandahar pada pertengahan Juni tahun lalu, membuat lebih dari 1.000 tahanan yang separuh diantaranya militan berhasil kabur.

Bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80 persen korban di pihak pasukan asing di Afghanistan, menurut militer.

Antara 8.000 dan 10.000 prajurit internasional bergabung dengan pasukan militer pimpinan NATO yang mencakup sekitar 60.000 personel di Afghanistan untuk mengamankan pemilihan presiden Afghanistan pada 20 Agustus, kata aliansi itu.

Pemilu yang menetapkan presiden dan dewan provinsi itu dipandang sebagai ujian bagi upaya internasional untuk membantu menciptakan demokrasi di Afghanistan, namun pemungutan suara tersebut dilakukan ketika kekerasan yang dipimpin Taliban mencapai tingkat tertinggi.

Sekitar 300.000 prajurit Afghanistan dan asing mengambil bagian dalam pengamanan pemilu tersebut.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009