Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan setidaknya 80 anak Indonesia eks ISIS yang kini berada di sejumlah negara telah teridentifikasi identitasnya.
Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar di Jakarta, Senin, menjelaskan anak-anak tersebut dibawa oleh orang tua mereka yang terpengaruh paham dan gerakan ISIS.
"Mereka ada di wilayah berbagai negara, seperti Turki, Irak, Suriah, dan beberapa tempat. Ada 3-4 (negara)," katanya saat berkunjung ke Kantor Redaksi LKBN ANTARA, Wisma Antara, Jakarta.
Baca juga: Boy Rafli: Teroris tidak bisa diidentikkan dari penampilan
Baca juga: Deradikalisasi, BNPT berdayakan eks napiter kelola agrowisata
Baca juga: BNPT maksimalkan kontraterorisme lewat medsos
Menurut dia, BNPT sangat terbantu dengan sistem data kependudukan dan catatan sipil (dikdukcapil) dalam mengidentifikasi data melalui foto warga yang sempat bergabung dengan ISIS.
"Makanya, sudah sekitar 80 (orang) yang kategorinya anak sudah kita pegang datanya. Mereka di bawah 10 tahun. Anak-anak ini dibawa bapak ibunya berangkat ke sana," katanya.
Mengenai nasib anak-anak di bawah 10 tahun, ia mengaku masih terus dibicarakan penyelesaiannya dalam forum internasional, baik dengan negara pemegang otoritas hingga lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
"Tentunya nanti harus dibicarakan di forum internasional, bagaimana kelanjutan anak-anak ini yang dibawa bapak ibunya berangkat ke sana," katanya.
Boy mengatakan pemerintah harus mengacu hukum internasional, terutama yang berkaitan dengan nasib anak-anak eks WNI mantan ISIS tersebut.
Untuk seluruh eks-WNI, Boy menyampaikan berdasarkan estimasi data BNPT terdapat kurang lebih 1.500-1.600 orang yang bergabung dengan ISIS dan kini berada di luar negeri.
Merujuk pada masyarakat korban bujukan ISIS yang kini berada di negara lain, kata dia, sebenarnya bisa menjadi pembelajaran bahwa dalih ISIS membujuk mereka berjuang atas nama agama dengan berangkat ke luar negeri ternyata sesuatu yang menyesatkan.
"Mereka hari ini sangat menderita. Ada yang di kamp penawanan, ada yang meninggal dunia. Bahkan, ada anak-anak Indonesia berusia di bawah 10 tahun juga harus mengalami nasib terlunta-lunta," kata Boy.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020