Zildayenti (49) tidak kuasa menahan tangis saat memandangi satu unit perangkat telepon seluler dan dompet penuh lumpur peninggalan anaknya, Budi Susanto (26), yang bekerja sebagai koki di Hotel Ambacang.
Budi meninggal bersama korban lain ketika bangunan hotel tempatnya bekerja rubuh ketika gempa mengguncang Padang, Sumbar, Rabu (30/9).
Zildayenti terlihat terisak-isak sambil sesekali tangan kurusnya mengelap air mata dengan jilbab putih yang dikenakannya. Tubuhnya terguncang menahan isak tangisnya yang tertahan.
Yen, panggilan perempuan itu, sudah lima hari menantikan kabar tentang anak tercintanya.Pada Senin (5/10), jenazah anak pertamanya itu ditemukan dan dibawa pulang.
Ketika petugas mengeluarkan isi dompet anaknya, yakni berupa lembaran uang kertas asal berbagai negara, seperti ringgit, dolar, bath, rupe dan beragam kartu identitas, selama itu pula Yen memandangi sambil menangis.
"Budi itu anak ambo nan elok, saleh anaknyo...(Budi itu anak saya yang baik dan saleh)," katanya di antara isak tangisnya itu.
Budi merupakan satu dari ratusan korban yang sudah ditemukan berkat upaya evakuasi tim SAR. Jenazah Budi ditemukan pada pukul 11.00 WIB.
Jenazah Budi ditemukan di antaranya reruntuhan beton dan kayu di sekitar kolam renang yang terdapat di hotel yang terletak di pusat Kota Padang itu.
Budi merupakan anak pertama dari enam bersaudara yang memiliki seorang istri bernama Nova dan anak berusaha enam bulan bernama Muhammad Zalfan Habibi.
Budi sudah empat tahun menjadi kepala koki di hotel tersebut. Budi terkenal sebagai karyawan yang loyal di antara teman-temannya.
Pria berkulit putih kelahiran 27 Juni 1983 itu terkenal sebagai koki andal yang dikenal baik oleh teman-temannya dan juga keluarganya.
Ketiga adik Budi, yakni Ari, Aldo, dan Ardi, yang juga merupakan karyawan di hotel tersebut mengaku sangat salut dengan kakaknya.
Sebagai anak pertama, Budi memang terkenal sebagai anak yang baik dan sholeh serta menjadi tumpuan bagi keluarganya.
Meski sudah berkeluarga dan tinggal di rumah sendiri di Lubuk Buaya, Budi tidak lantas melupakan keluarganya dan terus membiayai sekolah dua adik perempuannya, yakni Rahma siswi SMK 7 Padang, dan Rahmi siswa SMP di Padang.
"Abang orangnya baik dan sangat sayang pada adik-adiknya," kata Rahma, adik Budi dengan terisak.
Dia bercerita, sehari sebelum kejadian itu, Budi sempat datang ke rumah keluarganya di Lubuk Alung menemui ibu, ayah, dan adik-adiknya bersama istri dan anaknya yang berusia enam bulan.
"Ketika akan pulang abang sempat bilang, kalau besok Rabu (30/9) mau mengajak kami jalan-jalan karena dia sudah menerima gaji," katanya sambil terisak-isak.
"Abang juga bilang kalau akan memberi uang sama Rahma dan bilang kalau abang sayang Rahma dan juga agar Rahma jadi anak yang baik dan tidak melawan pada ibuk," katanya.
Setelah itu, dia mengaku tidak mendapat firasat apa-apa hingga pada malam hari, atau beberapa jam setelah terjadinya bencana alam itu, adik keduanya, Ari, membawa informasi Budi terjebak di reruntuhan Hotel Ambacang.
Seketika, ibu dan keluarganya terguncang dan sangat sedih, dan mereka tiap hari terus berada di posko di Hotel Ambacang untuk mencari informasi soal Budi. Sementara Nova istrinya sangat terguncang menghadapi peristiwa itu.
Menurut Ari, Budi sebenarnya bisa selamat dari musibah tersebut, karena ketika gempa terjadi ruangan tempat kerja pria lulusan SMK 9 Padang itu lebih dekat ke pintu keluar.
Namun, sebagai kepala koki yang bertanggung jawab, Budi tidak lantas lari, tapi kembali ke dalam ruangan itu dan memberi tahu karyawan lainnya termasuk menjemput Aldo dan Adri dua adiknya yang bertugas di bagian "pastry".
Bahkan Budi juga sempat membantu Aldo yang tangannya sudah luka terhimpit beton.
"Ketika bang Aldo sudah hampir mencapai pintu keluar ternyata bang Budi justru lari ke arah berlawanan dan tidak bisa terlihat lagi," katanya.
Di mata ayahnya, Dedi M. Nur (51), Budi terkenal sebagai anak yang patuh serta taat pada orangtuanya.
Dia tidak pernah membantah perkataan orangtuanya."Saya sangat sedih dan kehilangan Budi," katanya.
Menurut dia, jenazah budi akan dimakamkan di kampung halamannya di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Tidak Selamat
Komandan Tim Colaps Structure Search and Rescue (CSSR) Badan SAR Nasional Setiawan Firdaus memastikan tidak ada lagi korban yang selamat akibat tertimpa reruntuhan gedung Hotel Ambacang, Padang, yang rubuh akibat gempa berkekuatan hebat 7,9 SR.
"Setelah kami lacak dengan life detector detak jantung, tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan sejak pukul 15.00 WIB kemarin," katanya.
Selain menggunakan life detector, tim SAR juga dibantu dengan menggunakan alat ultrasonic dan anjing palacak dari Jepang.
"Pencarian juga kami lakukan dengan sistem manual, yakni beberapa saf dan maju selangkah demi selangkah untuk keamanan, sambil meneriakkan `masih ada orang di dalam!` dan jika masih ada kami perintahkan untuk berteriak sekeras mungkin atau memukul alat sebanyak lima kali," katanya menjelaskan.
Namun, kata dia, tidak ada korban yang menjawab seruan tersebut.Sehari sebelumnya diperoleh informasi masih ada korban yang hidup di hotel tersebut, namun pada Senin dipastikan semua korban yang tertimbun tidak bernyawa lagi.
Petugas hingga kini tidak dapat memastikan jumlah korban yang masih tertimbun di reruntuhan itu.
Bau bangkai yang berasal dari reruntuhan hotel itu bisa tercium hingga radius 20 meter.
Kini seluruh gedung sedang dihancurkan dengan bantuan tiga unit "excavator" dan pencarian jenazah akan diteruskan kembali.
Ratusan orang tertimbun reruntuhan hotel itu karena saat musibah terjadi ada dua seminar di lantai dua hotel itu, yakni dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Asuransi.
Korban tersebut umumnya terjebak ketika bangunan hotel itu. Hingga Senin siang sudah terdata sebanyak 608 jenazah korban gempa bumi di Sumbar.(*)
Oleh Abna Hidayati
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009