"Awalnya, saya tertarik belajar membatik, tetapi malam (lilin) di dalam canting sering tumpah dan saya kepanasan," ucap Prima Amri Surahmat, tersenyum.
Arek Dukuh Kupang yang sehari-hari berprofesi sebagai "lawyer" (penasihat hukum) itu pun bertemu dua rekannya senasib yakni Dwi Mulyono (konsultan pajak) dan Widianto (teknisi).
"Kami akhirnya melakukan eksperimen bersama-sama untuk membuat canting yang praktis dan mampu mendorong kami yang muda-muda untuk belajar membatik," tuturnya.
Menurut rekannya, Dwi Mulyono, kesukaannya minuman suplemen Redoxon akhirnya memunculkan ide untuk menjadikan bekas tabung Redoxon sebagai tabung untuk canting.
"Ide lain datang dari rekan Widianto yang memang teknisi kompresor. Dia memberi klep sebagai mata canting yang dilapisi elemen untuk dialiri listrik sebagai sarana pemanasan," ujarnya.
Dari situ, katanya, rekannya Widianto pun menambahkan "dimmer" yang merupakan alat pengatur panas seperti yang ada pada setrika, bahkan ada juga baut untuk mengatur besar-kecilnya lubang pada canting.
"Rekan saya itu (Widianto) mengatur panas antara 20 sampai 25 watt. Kalau kita menggunakan canting elektrik selama satu jam akan membayar listrik hanya Rp1.200,00," timpal Prima.
Prima yang didaulat menjadi koordinator dari Komunitas Batik Lukis "Klampis Ireng" Dukuh Kupang itu juga menjamin siapapun yang menggunakan canting elektrik akan mampu membatik hanya dalam seminggu.
"Canting elektrik itu memang mempunyai kelebihan dibanding canting tradisional, sehingga anak-anak muda seperti kami pasti akan suka, karena caranya mudah dan tidak malu untuk dibawa kemana-mana," tukasnya.
Bahkan, paparnya, dirinya pernah mengajari anak SD (sekolah dasar) untuk belar membatik dengan canting elektrik dan sukses.
"Kalau anak SD saja bisa, masak kita kalah? Soal motif batik ya terserah kreasi kita sendiri. Ada rekan yang bilang motif sak karepe dewe (semau sendiri) alias kontemporer," katanya, tertawa.
Paten
Cara mudah membatik dengan canting elektrik agaknya membuat Komunitas Batik Lukis "Klampis Ireng" pun berkembang dan dikenal hingga ke luar Kota Surabaya.
"Anggota yang serius ada 12 orang yaitu delapan pemuda dari Dukuh Kupang, dua pemuda dari Rungkut, dan dua pemuda dari Kalianak," ungkap Prima AS ketika ditemui di sela-sela pameran batik dalam rangkaian Karnaval Batik Rakyat di Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya (2/10/2009).
Tidak hanya itu, kiprah "Klampis Ireng" pun dilirik ibu-ibu PKK yang belajar membatik, bahkan warga asing dari Filipina dan Yunani pun pernah menimba ilmu kepada komunitas mereka.
"Mungkin karena kami sering ikut pameran batik dimana-mana. Itu pun sesuai dengan nama Klampis Ireng yang merupakan nama desa kelahiran tokoh pewayangan yakni Semar. Semar itu selalu mendidik orang dan mengayomi untuk berkembang menjadi lebih baik," kilahnya, filosofis.
Bahkan, kiprah "Klampis Ireng" yang cukup aktif itu membuat Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jatim mendorong mereka untuk mendaftarkan paten atas karya kreatif mereka itu.
"Berkat dorongan rekan-rekan dari Disperindag Jatim itulah, kami sudah mendaftarkan paten untuk canting elektrik pada Juli 2009," ungkapnya.
Oleh karena itu, katanya, canting elektrik sampai sekarang belum pernah dijual kepada orang lain, sebab mereka menunggu keluarnya paten, kendati mereka sudah mampu membuat 20 canting elektrik dalam sehari.
"Kami belum pernah menjual canting elektrik kepada siapapun, karena kami memang belum pernah memproduksinya, tetapi kalau batik yang kami hasilkan sudah banyak yang pesan," ujarnya.
Langkah pemuda Dukuh Kupang Surabaya itu diacungi jempol oleh pemerhati batik dari UKP Surabaya, Lintu Tulistyantoro, yang juga Ketua Komunitas Batik Surabaya (KiBaS) yang menaungi "Klampis Ireng" pula.
"Teknik membatik yang mereka tawarkan itu bagus, karena akan membuat anak-anak muda tertarik membatik. Cara membatik sekarang memang berbeda dengan cara nenek moyang kita dulu," ucapnya.
Tentang motif "bebas" dari komunitas "Klampis Ireng", Lintu yang juga Ketua Jurusan Desain Interior pada Fakultas Seni dan Desain (FSD) UKP Surabaya itu tidak menyoal.
"Bagaimana pun, Surabaya adalah kota metropolis, karena itu motif batiknya tidak harus satu desain. Bisa motif mangrove, suro lan boyo, adu doro, teri mumet, dan bahkan blok plan khas perumahan, apalagi dengan canting `made in` Surabaya pula," ucapnya, tersenyum.(*)
Oleh Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009
oh ya kalau boleh tau dimana saya menemukan alamat anda