Jakarta (ANTARA News) - Sistem keuangan Indonesia dinilai tidak memihak sektor riil dan cenderung berpihak pada sektor finansial yang selama ini dianggap sebagai sumber instabilitas perekonomian. "Di Indonesia tidak ada sektor riil yang memberikan return 55 persen maka dari itu orang lebih tertarik untuk masuk ke sektor finansial akibatnya sektor riil menjadi jeblok," kata pengamat ekonomi, Iman Sugema, di Jakarta, Kamis. Menurut Iman, sistem keuangan Indonesia harus segera direformasi karena cenderung kontraproduktif saat masa normal. Sektor finansial dinilainya merupakan sumber instabilitas perekonomian di mana jika bursa rontok, misalnya, maka perusahaan akan bangkrut. "Pangkal masalahnya, kita terlalu percaya pada sistem ekonomi yang membebaskan uang yang keluar masuk Indonesia sehingga sangat volatil pergerakannya begitu juga dengan nilai tukar rupiah," katanya. Ia mengatakan, harus ada upaya sedikit demi sedikit untuk melakukan pembatasan. Apalagi pada 2009, neraca transaksi berjalan diperkirakan akan negatif. "Kondisi itu kalau disertai dengan capital out flow maka kita akan kerepotan, apalagi cadangan devisa kita hanya 50 miliar dolar AS. Padahal China yang memiliki cadangan devisa hingga 2 triliun dolar AS saja kerepotan," katanya. Dana-dana domestik, katanya, tidak banyak dimobilisasi terutama oleh pemerintah. Misalnya saja perbankan memerlukan investasi yang likuid tetapi pemerintah tidak mendukung untuk itu sehingga yang menjadi instrumen investasi tetap saja SBI. Oleh karena itu, sistem keuangan harus diubah agar dana-dana domestik dapat termanfaatkan secara lebih baik dan optimal. Hingga kini, ia menilai pemerintah terlampau banyak mengambil pinjaman dari sumber asing yang interest ratenya jauh lebih rendah (yaitu berkisar 4-5 persen) daripada domestik yang mencapai 12-16 persen. "Ini cara berpikir yang salah karena kalau kita membayar bunga ke asing maka ada arus uang keluar. Tapi kalau dibayar ke domestik maka tidak akan ada uang keluar dari sistem ekonomi kita, interest ratenya nol," katanya. Jika dilihat dari kas negara memang akan tampak interest ratenya 12-16 persen tetapi itu dikembalikan kepada perekonomian nasional sehingga tidak ada kebocoran. "Jadi milik Indonesia kembali ke Indonesia sehingga interest ratenya nol. Ini tentang bagaimana kita mereset pola pikir," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009