Jakarta (ANTARA News) - Bagaimana Tentara Nasional Indonesia (TNI) memandang profesionalisme bagi dirinya sendiri, kiranya dapat menyimak pernyataan yang dikemukakan orang nomor satu di tubuh militer Indonesia itu.

"Siapa bilang kita bukan nomor satu," kata Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, yang langsung disambut tawa dan tepuk tangan jajarannya serta wartawan yang memenuhi balai media Mabes TNI Cilangkap.

Guyonan Panglima TNI nampaknya ingin menunjukkan keadaan bahwa kondisi semangat dari militer Indonesia tetaplah kuat, meski ditengah situasi keterbatasan alat utama sistem persenjataan yang dimiliki TNI.

Dengan penuh semangat, Djoko mengutip pernyataan pimpinan revolusi komunis Cina Mao Zedong "senjata memang penting dalam sebuah peperangan, namun peperangan sangat ditentukan manusia dibalik persenjataan,".

Dalam arti lain, militansi sangat penting dan bagi TNI fokus pembinaan yang menekankan militansi bagi para prajuritnya masih merupakan modal utama untuk menjadi tentara yang profesional.

"Daya tempur tidak semata dihitung dari persenjataan, melainkan juga kekuatan militasi prajuritnya," tutur Djoko yang mencontohkan betapa militer di negara-negara maju yang mengerahkan sebagian besar kekuatan militernya ke sejumlah negara seperti Irak, akhirnya kelelahan juga.

Jadi, tambah lulusan Akademi Militer 1975 itu, militansi itu penting, untuk menjadikan TNI sebagai tentara rakyat, tentara penjuang, dan tentara nasional yang profesional.

Namun, untuk menjadi profesional di tengah dimensi ancaman yang beragam dan kompleks, militansi saja tidak cukup. TNI profesional tetap harus dibekali dengan perlengkapan, peralatan dan persenjataan yang memadai.

Panglima TNI menegaskan, sebagai bagian dari agenda reformasi internal TNI, pihaknya terus berupaya melakukan pembinaan untuk mewujudkan TNI sebagai tentara yang profesional dalam menjalankan tugas pokoknya sebagai penjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tetapi untuk mewujudkannya, TNI tidak dapat sendirian. Perlu dukungan pemerintah dan parlemen, terutama dalam modernisasi persenjataannya.

"Menjadikan TNI profesional itu memang domain TNI. Tetapi untuk menjadi profesional, dengan dilengkapi persenjataan memadai itu perlu dukungan pemerintah, parlemen dan masyarakat," katanya.

Audit

Upaya TNI membangun profsionalisme memang masih mendapat "pertanyaan" dari berbagai kalangan, terutama dengan akuntabilitasnya dalam mengelola alutsista maupun soal keuangan. Simak saja yang disampaikan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution.

Anwar Nasution mengatakan, pemerintah seharusnya berupaya menginventarisasi dan memisahkan terlebih dulu aset yang efektif dan yang rongsokan dalam kelompok alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang digunakan TNI.

Selama ini kondisi alutsista itu dalam laporannya tidak jelas mana yang masih layak dan yang tidak dapat dipakai lagi.

Ia menjelaskan, neraca Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI mencatat penguasaan aset senilai Rp163 triliun atau 24 persen dari total aset tetap (aset berupa sarana fisik, bukan nonfisik seperti surat utang pemerintah).

Sekitar Rp47 triliun atau 29 persen dari aset tetap Dephan dan TNI itu berupa alat utama sistem persenjataan (alutsista). Padahal, untuk mengetahui kesiapan tempur TNI, kondisi aset itu perlu diketahui mana yang masih efektif, yang menjadi rongsokan, dan yang teknologinya ketinggalan zaman.

"Ketidakcermatan dalam melaporkan kondisi alutsista akan mengakibatkan DPR, pemerintah, dan pengguna laporan keuangan tersesat dalam mengambil keputusan dalam memodernisasi persenjataan TNI," ujarnya.

Sementara itu, Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono mengemukakan, hingga 2008, alokasi anggaran yang disediakan negara untuk sektor pertahanan tergolong rendah, sehingga masih sulit untuk memodernisasi TNI secaar besar-besaran.

Pada 2000, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp10,5 triliun, yang meningkat secara perlahan hingga tahun ini berjumlah Rp36,4 triliun dan pada 2010 menjadi Rp40,7 triliun.

Meski secara nominal anggaran pertahanan meningkat, rasionya terhadap nilai produk domestik bruto (PDB) cenderung menurun dan berada pada posisi di bawah satu persen (4-5 persen dari APBN).

Sebagai perbandingan, negara-negara maju ataupun negara kawasan Asia Tenggara mengalokasikan anggaran pertahanan di atas dua persen dari PDB masing- masing.

Minimnya anggaran yang dialokasikan mau tidak mau mempengaruhi kinerja dan penampilan TNI terutama terkait kesiapan dan kemampuan alat dan sistem persenjataan TNI.

Pengamat militer Universitas Indonesia, Andi Widjojanto, menilai, kebijakan anggaran belanja pertahanan pemerintahan belum berubah secara signifikan, terutama dalam besaran nominalnya.

"Faktor utama yang menghalangi pemerintah menaikkan alokasi anggaran pertahanan adalah anggaran itu sendiri, terutama ketika belanja pertahanan masih menjadi bagian dari APBN," ujar Andi.

"Kebijakan dan postur pertahanan akan tetap selalu didikte oleh anggaran. Untuk itu, seharusnya pemerintah memikirkan sebuah terobosan baru," katanya.

Salah satu terobosan yang bisa dilakukan adalah dengan menetapkan kebijakan penganggaran multitahun untuk belanja pertahanan dengan komitmen menaikkan besarannya, setidaknya 15 persen dari tahun sebelumnya setiap tahun

Efisiensi Manajemen

Sementara dari kacamata peniliti baik Departemen Pertahanan maupun Mabes TNI perlu melakukan efisiensi manajemen alat utama sistem senjata untuk memodernisasi dirinya, ditengah minimnya anggaran.

Jaleswari Pramodhawardani dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI mengatakan, satu dasawarsa reformasi TNI menunjukkan, kendatipun jumlah anggaran pertahanan selalu diusulkan naik, tidak satu presiden pun mampu melakukannya sesuai dengan usulan maupun rencana strategis yang diajukan Departemen Pertahanan.

"Sulitnya anggaran pertahanan naik secara signifikan, diperlukan langkah penting sebagai terobosan memenuhi kebutuhan alutsista yang memadai," katanya.

Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain, penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Dephan yang komprehensif. Kebutuhan minimal Dephan/TNI selama ini menggunakan perhitungan proyeksi anggaran secara regresi linear dari kebutuhan atau usulan pada tahun sebelumnya.

Dengan penambahan laju inflasi 10 persen, kenaikan rata-rata APBN selama lima tahun dan rata-rata kenaikan rencana anggaran belanja Dephan/TNI selama lima tahun.

"Hal itu, tidak mencerminkan kebutuhan perumusan renstra pertahanan yang sesungguhnya. Renstra pertahanan penting dilakukan karena hal ini yang akan menentukan arah pengembangan postur pertahanan nasional, akuisisi persenjataan yang diperlukan, dan besarnya anggaran yang dibutuhkan," tuturnya.

Bagaimana pun, Renstra memerlukan perhitungan rumit karena harus mengombinasikan alokasi sumber daya nasional yang diperlukan untuk mempertahankan postur pertahanan yang saat ini ada (arms maintanence) dan kebutuhan untuk memulai proses modernisasi pertahanan (arms build- up).

Kedua, konsep dan strategi pertahanan serta pengadaan alutsista, haruslah mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sistem pertahanan udara dan bawah laut hendaknya mendapat prioritas pertama, mengingat Indonesia sebagai negara maritim sangat rapuh terhadap ancaman musuh.

Berdasar data Departemen Pertahanan Indonesia kini

memiliki 173 jenis alutsista dari 17 negara. TNI Angkatan Udara memiliki 87 pesawat tempur dari sejumlah negara yang sebagian usianya lebih dari 20-30 tahun.

"Kita harus mulai mengubah "mindset" untuk tidak melulu memikirkan jumlah alutsista, tetapi di sisi lain justru mengabaikan modernisasi teknologi alutsista dengan bersembunyi di balik minimnya anggaran. Lebih baik kita memiliki dua kapal selam baru dengan dukungan teknologi terbaru dan persenjataan tercanggih ketimbang membeli 10 kapal selam bekas tanpa dipersenjatai dan memiliki spesifikasi tempur yang andal," papar Jaleswari.

Ketiga, sumber alutsista dan pendanaan alutsista. Selama ini pengadaan alutsista kita didanai fasilitas kredit ekspor (FKE) yang mensyaratkan bunga yang tinggi dan pengembalian cepat.

"Perlu optimalisasi peran badan usaha milik negara industri strategis (BUMNIS) untuk mengisi kesenjangan kebutuhan alutsista TNI," katanya.

Keempat, mempergunakan strategi "offset", salah satu cara untuk melakukan inovasi sistem pembelian senjata. Pengertian ini mengacu pada pembelian atau investasi timbal balik yang disepakati pemasok senjata sebagai imbalan dari kesepakatan yang dilakukan.

Ada dua tipe offset yang bisa dimintakan oleh Indonesia, yaitu "licensed production" atau "co-production". Licensed production yaitu transfer teknologi oleh negara produsen kepada Indonesia. seangkan co-production, adalah melibatkan Indonesia dalam pembuatan komponen peralatan militer yang tengah dipesan, selain itu juga menghasilkan peralatan militer yang sama untuk memenuhi pesanan dari negara produsen maupun pasar internasional.

Kelima, melibatkan daerah-daerah (terutama daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah dan berada di wilayah perbatasan/ strategis) membantu pembiayaan pertahanan melalui dana hibah.

"Mekanisme penganggarannya perlu dicermati dengan tetap meletakkan APBN sebagai satu- satunya pembiayaan pertahanan negara sesuai dengan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara," katanya.

Dengan beberapa langkah efisiensi manajemen itu, TNI diharapkan dapat memodernisasi dirinya untuk lebih profesional. Militansi, semangat cinta tanah air, dan bela negara tentu penting, namun tetap tidak akan efektif tanpa dukungan persenjataan yang handal.

Persenjataan mumpuni tentu akan menaikkan moral dan militansi prajurit untuk semakin gigih mempertahankan negaranya dari gempuran musuh. (*)

Oleh Rini Utami
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009