Padang (ANTARA News) - Wajah Alimah yang berselimut jilbab tua berwarna cokelat itu semakin pucat pasi dibawah terik matahari Kota Padang. Sesekali ia menghapus peluh yang bertengger di keningnya dengan handuk kecil digenggamannya.
Wanita paruh baya tersebut berdiri diantara ratusan orang yang berkerumun di depan Hotel Ambacang di Jalan Bundo Kanduang, Kota Padang Sumatera Barat.
Hotel berbintang berwarna putih keabuan yang sebelumnya berdiri gagah dipusat Kota Padang tersebut kini rata dengan tanah setelah digoyang gempa yang melanda Sumatera Barat pada Rabu (30/9).
Kini, ratusan orang sibuk menonton proses evakuasi diantara reruntuhan Hotel Ambacang.
Entah karena sebagian besar jaringan listrik di Kota padang terganggu akibat gempa sehingga tidak bisa menonton televisi di rumah, atau karena proses evakuasi begitu menariknya, bagaikan drama bagi mereka.
Yang pasti sejak pagi hingga malam hari berjalannya proses evakuasi, "penonton" tidak pernah sepi didepan "si gagah" hotel ambacang yang kini telah rata dengan tanah.
Masalahnya, "si gagah" tersebut runtuh menimpa puluhan atau mungkin ratusan manusia yang sedang berada didalamnya saat gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter menyapa di sore pukul 17.16 WIB itu.
Termasuk didalamnya pria berusia 37 tahun, ayah dari dua anak, bernama Zulkarnain, keponakan Alimah.
Saat tanah Padang bergoyang, Zulkarnain yang merupakan dosen di salah satu sekolah tinggi di Kota Padang itu sedang berada di dalam hotel untuk menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi swasta.
Kini, setelah hotel rata dengan tanah, Zulkarnain tidak pernah kembali ke rumah, hingga dua hari setelah kejadian di Rabu kelabu itu keluarga tidak mengetahui keberadaan Zulkarnain. Ia menghilang tanpa kabar, tanpa berita, tanpa pesan, tanpa pernah kembali ke rumah.
Tidak ada yang tahu kondisinya saat ini, namun menurut keluarga, hampir 100 persen kemungkinan ia berada di dalam hotel, terjebak, entah hidup atau telah tiada.
Zulkarnain tidak pernah kembali sejak dua hari lalu pamit kepada anak istrinya untuk menjadi pembicara dalam seminar di Hotel Ambacang.
"Yang kembali hanya motornya, GL Pro, yang terparkir di halaman hotel dan dibawa oleh tim evakuasi ke rumah," kata Alimah.
Menurut Alimah, hal itu membuat istrinya sedih, karena iastri Zulkarnain tidak pernah mengharapkan motor yang kembali, melainkan suaminya, dalam keadaan hidup.
Kini, sang istri tidak berhenti menangis, tidak juga bisa menjelaskan kepada anaknya yang paling besar dan masih duduk di kelas satu sekolah dasar yang terus bertanya dimana bapaknya.
Sang istri juga mempercayakan kepada Alimah untuk mencari tahu keberadaan suaminya. Apakah masih hidup, atau telah meninggal dunia.
Namun, hingga Jumat (2/10) atau dua hari tepat setelah kejadian gempa bumi itu Alimah masih berdiri di depan Hotel Ambacang tanpa tahu nasih keponakannya.
Alimah yang matanya bengkak akibat menangis semalaman itu semakin sedih ketika mengingat, seharusnya si keponakan berangkat ke Jakarta pada hari Jumat (2/10) .
Tiket sudah dipesan, dan saat ini tiket itu berada di tas, ikut terjebak dengan Zulkarnain di dalam reruntuhan gedung.
"Keluarga sudah menyiapkan koper berisi pakaian untuk dibawa Zulkarnain ke Jakarta. Kini koper beserta isinya masih teronggok di rumah karena tidak ada yang berani membuka, takut sedih," katanya.
Motor GL Pro hitam yang dibawa tim evakuasi ke rumah tinggal Zulkarnain karena ditemukan selamat di parkiran Hotel Ambacang juga hanya berada dipojokan rumah tanpa ada yang berani menyentuh.
Kini, seluruh keluarga besar berkumpul di Rumah Zulkarnain di daerah Para Taratah, Kota Padang untuk menunggu kabar anak lelaki yang menjadi tulang punggung keluarga dan mendoakan keselamatannya.
"Berapa pun kecilnya kemungkinan Zulkarnain masih hidup, kami sekeluarga terus mendoakannya," kata Alimah berkaca-kaca.
Tubuh tuanya yang semakin merenta itu menggenggam kuat handuk kecil di tangan kanannya dan plastik keresek berwarna putih berisi bekal minuman di tangan kirinya.
Mata nanarnya menatap proses evakuasi yang terus berjalan dengan bantuan alat berat dan puluhan tim evakuasi diantara reruntuhan gedung.
Rabu (30/9) lalu, gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter mengguncang wilayah Sumatra Barat.
Menurut data BNPB atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana , hingga Jumat (2/10) siang jumlah korban meninggal dunia akibat gempa tersebut sebanyak 448 orang dan jumlah korban luka berat 241 orang dan luka ringan sebanyak 2.095 orang. Sementara jumlah bangunan yang rusak mencapai 2.650 unit
Wilayah yang paling parah terkena dampak gempa yaitu Kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Agam, Kabupaten Solok dan Kota Solok.
Gempa bumi tersebut juga dirasakan dengan intensitas lebih rendah di lima provinsi lainnya yaitu Provinsi Sumatera Utara (Tapanuli Selatan, Sibolga dan Gunung Sitoli), Provinsi Riau (Pekan Baru dan Duri), Provinsi Bengkulu (Bengkulu dan Kabupaten Muko-Muko), Provinsi Lampung ( Liwa) dan Provinsi DKI Jakarta.(*)
Oleh Wuryanti Puspitasari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009