Rapid test secara masif dilakukan hanya kepada orang-orang yang dianggap memiliki kontak erat dengan pasien positif COVID-19.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Prof. Drh. Wiku Adisasmito meminta masyarakat untuk tidak takut dengan tes cepat (rapid test) karena tes itu sebenarnya sifatnya adalah 'screening' atau menapis untuk mendeteksi potensi infeksi.
"Tujuannya sebenarnya adalah 'screening' atau menapis, memastikan bahwa orang yang memiliki riwayat kontak erat dengan penderita itulah yang harus dites, apakah yang bersangkutan itu terinfeksi atau tidak," kata Wiku dalam diskusi Gugus Tugas yang diadakan di Graha BNPB di Jakarta pada Jumat.
Karena tujuannya menapis atau menyaring maka bukan berarti semua orang akan menjalani tes tersebut.
Dia menegaskan bahwa rapid test secara masif dilakukan hanya kepada orang-orang yang dianggap memiliki kontak erat dengan pasien positif COVID-19.
Baca juga: IPSM: Ikut "rapid test" agar pekerja sosial masyarakat sehat
Terdapat alur dalam pelaksanaan rapid test. Jika hasilnya negatif maka tes tersebut harus diulang dalam periode 7-10 hari setelah tes pertama.
Jika rapid test reaktif maka akan dites kembali menggunakan tes polymerase chain reaction (PCR) untuk memastikan apakah benar terinfeksi atau tidak dengan COVID-19. Kalau hasil PCR menunjukkan positif maka pasien tersebut akan dirawat di rumah sakit jika memiliki gejala berat atau sedang.
Jika negatif hasil PCR maka dapat beraktivitas kembali sambil menjalankan protokol kesehatan seperti memakai masker dan menjaga jarak jika berada di tempat umum.
Selama menunggu hasil tes PCR, orang dengan tes cepat reaktif harus melakukan isolasi baik mandiri di rumah atau bisa memakai fasilitas publik yang bisa digunakan untuk karantina mandiri.
Dia mengingatkan jika rapid tets menunjukkan negatif tapi memiliki gejala, individu tersebut bisa memeriksakan diri ke dokter.
Baca juga: 20 ribu alat "rapid test" gratis disediakan untuk pesantren di Banten
"Rapid test yang ada sekarang rapid test antibodi. Melihat apakah yang bersangkutan itu sudah muncul antibodinya. Pada saat pertama bisa jadi antibodinya belum muncul di dalam tubuhnya maka diulang lagi," kata pakar kebijakan kesehatan dan penanggulangan penyakit infeksi itu.
Sebelumnya terjadi beberapa penolakan dari kelompok masyarakat untuk melakukan rapid test seperti yang terjadi di Pasar Cileungsi di Jawa Barat dan beredar video penolakan ulama Kota Serang, Banten terkait tes ke santri dan kiai.
Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy telah berbicara dengan masyarakat terkait penolakan itu. Menurut dia, penolakan bukan terjadi karena ketidaktahuan tapi lebih kepada faktor psikologis.
"Jadi mereka ini mengkhawatirkan apabila positif (rapid test) ada sesuatu yang terkait beban psikis yang harus mereka hadapi, seperti harus terpisah dari keluarga, dikarantina dan lain-lain," kata Andika dalam diskusi tersebut.
Wagub Baten memastikan pemerintah daerah telah melakukan pendekatan personal seperti berkoordinasi dengan Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) untuk memberikan informasi lebih rinci terkait rapid test.
Baca juga: BIN "swab" ulang 105 pasien positif COVID-19 di Surabaya
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020