"Sejak 2007 ketika terjadi gempa Bengkulu, memang energi yang lepas baru di pinggiran segmen tersebut, demikian pula yang terjadi saat ini, lebih dekat ke kota Padang, bukan di pusat segmen di Mentawai. Energi di segmen ini belum seluruhnya dilepaskan," kata Hery yang dihubungi di Jakarta, Kamis.
Pakar Geologi itu mengatakan, secara geologis, gempa besar di atas magnitudo delapan di lokasi Mentawai memang pernah terjadi pada masa lalu yakni pada 1833, dan gempa ini memiliki periode perulangan sekitar 240 tahun.
"Masa-masa perulangan ini memang sudah waktunya muncul," katanya sambil menambahkan bahwa dari riset-riset yang dilakukan, di Mentawai memang sudah terkumpul energi dan ketegangan sangat besar.
Pada 2007 saat gempa Bengkulu, lanjut dia, pelepasan energi sudah terjadi, di mana pada bagian selatan segmen tersebut ada lempeng yang naik sekitar 50cm, sementara pada 1833, daratan naik sampai 2m dan terjadi tsunami besar.
"Saya khawatir ini justru bisa memicu, tapi saya tetap berharap gempa Padang saat ini juga melepas energi yang ada di sana, sehingga energi di sana bisa berkurang sedikit-sedikit dan gempa utama yang dikhawatirkan bisa lebih ringan," katanya berharap.
Ia mengingatkan masyarakat bahwa Indonesia, khususnya Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi hingga ke kawasan timur, terletak di kawasan tumbukan antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia serta lempeng Pasifik.
"Jadi kesiapan masyarakat menghadapi gempa memang sudah harus optimal," katanya.
LIPI, ujarnya, memang sudah mempersiapkan masyarakat di Padang untuk menghadapi gempa dan tsunami yang bisa saja terjadi suatu saat, namun berbagai pelatihan itu hanya terbatas di sejumlah desa dan diharapkan bisa ditransfer ke masyarakat lainnya.
Sementara itu, Pakar Geologi dari ITB, Dr Afnimar mengatakan, di sekitar kawasan Padang memang sudah lama diketahui berpotensi gempa dan masyarakat sudah seharusnya memiliki kesiapan diri yang cukup. (*)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009