Jakarta (ANTARA News) - Depkominfo dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diharapkan mengeluarkan peraturan bagi media penyiaran yang digunakan siarannya untuk kepentingan politik pemiliknya, agar media elektronik yang merupakan ranah publik dapat menaati rambu-rambu dalam peraturan tersebut, kata pakar komunikasi Ade Armando.

Ade mengemukakan hal itu dalam diskusi interaktif "Media Berpolitik, Ancaman Bagi Demokrasi" di Jakarta, Selasa sore, yang juga menampilkan pembicara Sirikit Syah dari Indonesia Media Watch (Inmetch), Satrio Arismunandar (wartawan Trans TV), Agus Sudibyo (deputi direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi/SET) Jakarta, dan India Samego (pengamat politik).

Menurut Ade, larangan bagi media penyiaran seperti tv dan radio digunakan untuk kepentinan kelompok, agama dan suku tertentu, telah diatur dalam UU No 32 tahun 2002 tentang penyiaran, tetapi secara teknis aturan detail belum ada, sehingga perlu diatur lebih rinci agar media elektronik yang menjadi ranah publik itu tidak digunakan untuk kepentingan privat.

Namun, katanya, untuk media cetak, tidak ada larangan digunakan untuk kepentingan politik pemiliknya, karena modal utama media cetak seperti kertas dibeli dari uang pemiliknya, sedangkan media elektronik khususnya tv itu "frekuensinya" milik publik yang penggunaannya harus mendapat ijin dari pemerintah.

Ade mencontohnya, sebuah stasiun TV di Amerika Serikat (AS) milik Partai Republikan dalam menyiarkan berita dan dilog interaktif untuk kampanye partai itu, tetap mengundang nara sumber dari kompetitornya yaitu Partai Demokrat dan nara sumber yang indenpenden, sehinga media itu tidak melanggar etika.

Pendapat senada juga disampaikan Satrio Arismunandar dan Agus Sudibyo yang menyatakan bahwa sebuah media tv digunakan untuk kepentingan politik pemiliknya dalam pencalonan sebagai ketua umum parpol tertentu dalam bentuk berita dan dialog interaktif dinilai melanggar etika dan hukum penyiaran karena media tv adalah milik publik yang harus berisfat netral.

Agus mengingatkan bahwa media penyiaran memiliki nilai-nilai yang harus dipertahankan yang merupakan milik ranah publik serta nilai-nilai pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.

Pengamat politik Indria Samego juga menyatakan setuju agar media penyiaran tetap mampu menjaga nilai-nilai netralitas, namun media elektronik menjadi ranah publik harus menjaganya, sehingga pemirsa tidak hanya digiring untuk menikmati siaran yang hanya menyajikan kepentingan politik pemiliknya.

Sementara itu, Sirikit Syah dari Indonesia Media Watch justru berpendapat sebaliknya, bahwa media berpolitik bukan ancaman bagi demokrasi, sebab jika media penyiaran digunakan kepentingan politik pemiliknya akan merugikan media itu sendiri, yang akan ditinggalakan pemirsa dengan mengalihkan tontotan ke stasiun tv lain.

Kendati demikian, dia tidak setuju jika ada politik media yaitu media yang memiliki kebebasan tidak terbatas, tanpa adanya aturan yang jelas, sehingga fungsi media sebagai pendidikan politik tida akan terwujud.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009