Jakarta, (ANTARA News) - Ketika memanggungkan lakon soulmate di atmosfer Metropolitan, maka kata belahan jiwa mengunci memori dua anak manusia untuk bersekata dan bersepaham dalam jalinan persahabatan, pertalian percintaan bahkan ikatan perkawinan. Di benak soulmate, yang ada hanyalah kau dan aku.
"Soulmate bikin hidup kita jadi berimbang," kata seorang Public Relations Officer, sebut saja XYZ, yang berstatus menikah. "Bagi saya, soulmate adalah hasil akhir dari modifikasi harapan dua orang terhadap pasangannya," kata ANH, pemilik cafe di bilangan Senayan, seperti dikutip dari laman Kompas.
"Soulmate adalah tentang dua soul yang sama-sama melakukan perubahan. Pada akhirnya akan terjadi suatu merger dan kompromi dalam hal visi, misi dan jiwa, dari keduanya," kata YCB, seorang Associate Account Director, yang berstatus lajang.
Mengenai soulmate, terpapar opini bercengkok revolusioner. "Saya nggak percaya! Tidak mungkin ada dua orang yang cocok 100 persen. Soulmate bagi saya artinya identik dengan selingkuhan," kata seorang Project Manager, sebut saja ZYX, yang berstatus menikah.
Tiga pengalaman personal mengoyak makna soulmate di tengah rimba "reality show" bernama pasar. Lantas, homo economicusmemproklamasikan bahwa tidak ada kata cinta dalam kamus pasar. Yang berlaku dan berterima hanyalah nilai 'sejauh berguna".
Soulmate bisa-bisa tereduksi sekedar ngopi bareng. Boleh jadi, makna soulmate dikerdilkan sebagai selingkuh. Konyolnya, selingkuh diplesetkan sebagai selingan indah keluarga utuh. Duh...!
Di tengah iklim serba standarisasi yang menimba oase pencerahan "cogito ergo sum" dari filsuf Descartes, adakah soulmate dengan huruf besar terkapar sebagai "aku memiliki maka aku ada" (habeo ergo sum), atau bahkan "emo ergo sum" (aku berbelanja maka aku ada)?
Lihatlah wajah sumringah dari dua sejoli yang sedang dimabuk asmara, lihatlah wajah anak baru gede (ABG) yang sedang dibelai Dewi Amor secara perdana, maka soulmate sebagai relasi antara kau dan aku terjelma menjadi homo ludens, sebatas permainan di arena relasi-antar-manusia. Wujudnya, hubungan cinta dan persahabatan.
Sepotong cinta dan persahabatan yang dibaptis dalam relasi "Aku-Anda", oleh filsuf Gabriel Marcel ditemukan dalam ciri-ciri yakni ketersediaan seseorang untuk menerima, bukan menguasai sesama (disponibilite), memberi dan menerima perhatian (receptivite), melibatkan diri (engagement), memupuk dan menumbuhkan kesetiaan (fidelite), mewujudkan kreativitas (creativite).
Kalau saja kelima wawan-kata dari Marcel itu didaratkan di pelabuhan wacana seputar soulmate, maka bertaburan sejumlah kalimat memanjakan dan melenakan hati: aku ingin memelukmu dengan hangat, aku ingin melihat wajahmu yang enerjik. Jauh dari kata bernuansa hujatan, jauh dari kata bernuansa kebencian.
Saat berada di resto pizza, tidak ada momok untuk bertukar kata, "Kali ini aku yang mentraktir dirimu." Kau dan aku saling berpagut pandangan. Inilah wasiat soulmate yang telah diperkaya oleh sentuhan filosofis. Kredo cinta, dari mata turun ke hati seakan tergantikan dengan dari hati turun ke hati.
Adakah belaian hati ada dalam lubuk hati elite penguasa ketika Lebaran 2009, terjadi 1.646 kecelakaan lalu lintas? Adakah hati tersentuh membaca warta miris bahwa selama arus mudik dan balik Lebaran 2009, jumlah korban tewas akibat kecelakaan mencapai 702 orang?
"Kecelakaan banyak terjadi pada pengemudi motor yakni 71 persen dari jumlah kecelakaan," kata Direktur Lalu Lintas Polri Brigjen Djoko Susilo di Jakarta. Pada Lebaran 2008, terjadi 1.379 kecelakaan dengan jumlah korban tewas 633 orang, 797 luka berat dan 1.379 oang luka ringan.
Ratusan korban meregang nyawa di jalan raya saat mudik lebaran. Artikulasinya, adakah ini hasil dari kebijakan atau tindakan institusional tanpa melalui diskursus yang mungkin dapat disebut - meminjam istilah filsuf Hannah Arendt - sebagai banalitas?
Jawabannya, banalitas menjadikan proses pengambilan keputusan publik atau keputusan bisnis sebagai proses rutin, sebagai proses tetap, hampir secara otomatis, tanpa berpikir panjang. Bukankah bicara soal soulmate yang mengaitkan relasi kau-dan-aku tersentuh pijar refleksi, artinya memuat kehati-hatian.
Sementara, Fami Badoh dari Indonesia Corruption membawa korek kuping raksasa ketika datang ke Badan Kehormatan DPR sebagai simbol penolakan atas pengesahan RUU Tindak Pidana Korupsi, Senin (28/9). Nah, refleksi dalam konteks pembicaraan seputar soulmate barangkali lebih merupakan kagiatan diskursif antara diriku dengan diriku.
Di mana disponibilite, receptivite, engagement, fidelite, dan di mana creativite? Jawabnya, "the greatest benefit for the greatest number", artinya perilaku administrasi publik atau bisnis sedapat mungkin menghasilkan konsekuensi berupa manfaat atau kebahagiaan maksimal bagi sebanyak mungkin pihak, bukan hanya bagi diri sendiri,bukan hanya bagi kelompok sendiri.
Bunyi adagium soulmate, kau dan aku. Dan filsuf Agustinus punya rumus jempolan: hendaknya jangan pergi ke luar, berpalinglah memasuki dirimu sendiri, manusia batiniah adalah tempat tinggal kebenaran (noli foras ire, in teipsum redi, in interiore homine habitat veritas).(*)
Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009