Jakarta (ANTARA News) - Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mendesak Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution untuk segera mengaudit hasil penerimaan Ditjen Bea Cukai dari para importir sebesar Rp5,42 trilliun yang dianggap GINSI sebagai sebuah hasil pemerasan.
"Kami menganggap penerimaan Ditjen Bea Cukai sebesar Rp5,42 triliun itu merupakan hasil pemerasan terhadap para importir," kata ketua Umum GINSI Amirudin Saud kepada ANTARA Newsdi Jakarta, Selasa.
Amirudin mengemukakan hal itu sehubungan dengan surat GINSI kepada BPK tentang "audit surplus" penerimaan Bea dan Cukai.
Dalam suratnya kepada Ketua BPK Anwar Nasution, oleh GINSI dijelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 yang kemudian diamandemen menjadi UU No 17 tahun 2006 menyebutkan bahwa "nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan".
Pada setiap pelaksanaan impor, importir mengisi Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dengan mencantumkan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi yang sebenarnya yang didukung oleh dokumen otentik seperti sales contract, invoice, bill of lading dan bukti transaksi ke pemasok.
"Namun demikian, kantor pelayanan Bea dan Cukai di seluruh pelabuhan menetapkan nilai pabean secara sepihak dan tidak transparan berdasarkan data base Direktorat JenderaL Bea Cukai yang selalu ditetapkan lebih tinggi daripada nilai transaksi yang sebenarnya yang diajukan oleh importir."
Data base yang dimiliki Bea Cukai tersebut sama dengan Harga Patokan yang dilarang digunakan oleh WTO.
Dengan demikian Bea Cukai telah melanggar UU Nomor 10 tahun 1995 yang telah diamandemen menjadi UU Nomor 17 tahun 2006, kata Amirudin dalam suratnya kepada Anwar Nasution.
GINSI kemudian menyebutkan "Dengan ditetapkannya Nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk berdasarkan data base yang lebih tinggi, maka importir dirugikan karena dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 1.000 persen (seribu persen) dari Bea Masuk yang kurang dibayar.
Direktorat Jenderal Bea Cukai pada tahun 2008 meraih surplus sebesar Rp5,42 triliun yang berasal dari denda koreksi itu, kata Amirudin Saud.
"Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon kiranya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat melakukan audit atas surplus sebesar Rp5,42 triliun yang berasal dari Denda Administrasi tersebut sehingga diperoleh kejelasan penggunaannya," kata Amirudin kepada BPK..
Ketika ditanya apakah selama ini GINSI pernah menanyakannya langsung kepada pimpinan Ba Cukai, Amirudin yang telah puluhan tahun memimpin GINSI menegaskan pihaknya telah berulang kali mempermasalahkan hal ini kepada jajaran BC.
"Namun, Bea Cukai tidak pernah menggubris pertanyaan kami. Dalam rapat, mereka hanya bilang ya, ya, tapi kemudian tidak ada kelanjutannya," katanya.
Ia kemudian berkata "Kalau tidak ada importir, maka Bea Cukai tidak ada tugasnya."
GINSI mengingatkan jajaran Bea Cukai bahwa importir adalah mitra kerja jajaran Bea Cukai, sehingga importir tidak boleh dianggap sebagai musuh jajaran pemerintahan ini.
"Selama masa kepemimpinan Dirjen Bea Cukai Anwar Suprijadi, hasil pekerjaan Bea cukai tidak dirasakan manfaatnya oleh para importir," kata Amirudin Saud.
Sebelumnya Dirjen Bea Cukai Anwar Suprijadi mengaku bahwa lembaga yang dipimpinnya itu meraih surplus hingga Rp5,42 triliun. (*)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009