Jakarta (ANTARA News) - Kiprah Andi Mapetahang Fatwa atau yang lebih dikenal dengan AM Fatwa di dunia politiik di Tanah Air sekan tak pernah mati.
Meski sempat dipenjara sebagai tahanan politik di berbagai tempat seperti di Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Cipinang, Cirebon, Sukamiskin, dan Bogor, selama sekitar 12 tahun di era Orde Baru, namun AM Fatwa tidak jera untuk terus meramaikan panggung politik Indonesia.
Nama pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 12 Februari 1939 itu kini kembali naik daun dengan muncul sebagai slah satu kandidat kuat untuk memimpin Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Pada Pemilu 2009 lalu, ia terpilih sebagai anggota DPD justru bukan dari daerah asalnya, Sulawesi Selatan, melainkan mewakili daerah pemilihan DKI Jakarta.
Bursa pimpinan DPD , DPR dan MPR mulai marak menjelang pelantikan anggota DPD, DPR dan MPR pada 1 Oktober 2009. Nama AM Fatwa pun muncul menjadi salah satu nominator calon Ketua DPD RI bersama sejumlah calon lainnya yang juga telah menyatakan kesiapannya, seperti Laode Ida, Irman Gusman.
Munculnya nama-nama tersebut, tidak terlepas dari keputusan Ketua DPD periode 2004-2009 Ginandjar Kartasasmita yang meski terpilih kembali menjadi anggota DPD periode 2009-2014 menyatakan tidak bersedia lagi menjadi Ketua DPD untuk kedua kalinya.
Mundurnya Ginandjar membuat sejumlah nama termasuk AM Fatwa gencar "mengkampanyekan" kesiapannya untuk dipilih menjadi Ketua DPD RI periode mendatang.
AM Fatwa sendiri menegaskan dirinya siap maju dalam bursa calon Ketua DPD periode 2009-2014 untuk bersaing dengan siapa saja dalam memimpin DPD. Namun demikian, ia enggan menanggapi pertanyaan soal peluangnya menjadi orang nomor satu di DPD.
Ia justru tertarik menjelaskan soal mekanisme pemilihan pimpinan DPD dan keinginannya untuk memperkuat DPD bersama teman-teman di lembaga tersebut. Suami dari Nunung Nurdjanah dan ayah dari lima anak itu bertekad mengubah pandangan tentang lemahnya fungsi DPD.
"Banyak orang yang menilai DPD fungsinya rendah dibanding DPR/MPR. Sebagai politisi, tentu saja saya merasa terpanggil untuk turut mengisi satu bidang pengabdian lagi,? katanya.
Mengenai soal mekanisme pemilihan DPD, Fatwa berpandangan ada dua opsi yang berkembang. Pertama, dipilih berdasarkan keterwakilan pulau, misalnya Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NTT dan Papua. Sedangkan opsi kedua, adalah berdasarkan zona, yaitu wilayah barat, wilayah tengah dan wilayah timur.
Wilayah barat diwakili Sumatra dan Kalimantan, sedangkan wilayah tengah diwakili Pulau Jawa, Bali dan NTT. Wilayah timur diwakili Sulawesi, Maluku dan Papua.
"Dari konsep keterwakilan pulau ini akan muncul tujuh nama yang akan dibawa dalam voting `one man one vote`,"tambah mantan narapidana politik jaman orde baru itu.
Pada konsep zonasi, katanya, akan kelihatan kandidat tiga besar berdasarkan urutan suara terbanyak. Dari tiga besar inilah yang nantinya akan memimpin DPD.
"Hanya saja, kelemahan dari zonasi ini, peluang Papua menjadi kecil. Lain halnya jika dengan opsi keterwakilan melalui pulau," ujarnya.
Keinginannya untuk memperkuat fungsi DPD dapatlah dipahami mengingat segudang pengalamanya di lembaga perwakilan rakyat dan organisasi massa lainnya. Fatwa memulai karir politiknya dengan menjadi aktivis organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) sejak 1957, dari tingkat Cabang, sampai Pengurus Besar. Setelah itu, ia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sejak 1960, dari Komisariat, Cabang hingga Pengurus Besar.
Di Muhammadiyah, Fatwa juga sudah aktif sejak 1959, mulai dari Ranting, Cabang, hingga Pimpinan Pusat. Selain itu, ia juga aktif di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sejak 1993 mulai dari Penasihat Orsat, Orwil, hingga sebagai Dewan Pakar Pengurus. Ia juga ikut menandatangani deklarasi berdirinya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) 20 Oktober 1964.
Pernah menjabat Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta, dan anggota Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Pusat 1975-1979. Kemudian menjadi tokoh penandatangan Petisi 50, pada 1980 dan Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50, 1980-1996.
Setelah keluar dari penjara, bersama tokoh Muhammadiyah Amien Rais, AM Fatwa ikut mendeklarasikan berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) yang kemudian ikut menjadi peserta Pemilu 2009. Fatwa pun terpilih anggota DPR RI periode 1999-2004. Tidak itu saja, dalam pemilihan pimpinan Dewan, Fatwa dipercaya menjadi salah satu Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendampingi Akbar Tandjung yang menjadi Ketua DPR saat itu.
Pada Pemilu 2004, Fatwa kembali terpilih sebagai anggota DPR RI dan dipercaya menjadi salah satu Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI mendampingi Hidayat Nurwahid yang terpilih sebagai Ketua MPR.
Hubungan DPR-DPD
Lebih lanjut, Fatwa memaparkan keinginannya untuk membangun kepemimpinan di DPD secara egaliter tanpa adanya garis komando. Artinya, tidak menganggap Ketua DPD sebagai seorang komandan dan anggota DPD lainnya sebagai anak buah.
Fatwa menegaskan, seorang anggota DPD bukan lah anak buah karena semua anggota DPD memiliki kedudukan yang sejajar. Hanya saja, katanya, dalam hubungan struktur internal DPD, setiap anggota DPD yang akan berkomunikasi dengan pimpinan DPD akan diundang sebagaimana mestinya.
Lebih lanjut ia menilai masih ada kekurangan dari pemimpin DPD yang lalu dan banyak faktor dan hal yang perlu diperbaiki seperti perlu adanya pendekatan baru membangun DPD.
Karena itu, katanya, jika terpilih menjadi Ketua DPD periode 2004-2014, prioritas utama yang akan dilakukannya adalah mencairkan hubungan antara DPR dan DPD yang selama ini berjalan sangat tidak harmonis.
"Selama ini memang ada kendala psikologis dan komunikasi yang mengganggu hubungan DPR-DPR. Jika saya terpilih, maka tugas utama yang harus saya lakukan adalah menghapus semua ganjalan yang selama ini terjadi," tegas AM Fatwa.
Ia mengungkapkan, pengalaman dirinya dua periode memimpin parlemen, yakni pernah menjadi Wakil Ketua DPR dan Wakil Ketua MPR, sudah cukup memadai untuk menyelesaikan disharmonisasi dan konflik yang selama ini terjadi antara DPR dan DPD.
Mestinya, katanya, dua lembaga ini mampu lebih bersinergi secara maksimal dalam mengurus bangsa dan negara ini ke depan.
"Membangun sinergi tersebut justru akan memperkuat posisi DPD yang selama ini memang terbatas kewenangannya. Saya bergabung ke DPD ingin memperkuat DPD dan berusaha menerabas segala keterbatasan kewenangan yang ada. Caranya dengan membangun komunikasi yang baik antara DPD dan DPR," katanya.(*)
Oleh Arief Mujayatno
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009