Yogyakarta (ANTARA News) - Keputusan Raja Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk menyatakan diri sebagai calon presiden (capres) tidak datang begitu saja dan secara tiba-tiba. "Namun, keputusan tersebut tampaknya sudah melalui proses pemikiran dan pergulatan panjang baik secara politis maupun spiritual," kata Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Romo Baskara di Yogyakarta, Kamis. Dalam diskusi peluncuran buku `Laku Spiritual Sultan, Langkah Raja Jawa Menuju Istana` karya Arwan Tuti Artha, ia menambahkan proses yang dilalui Sultan tersebut dimaksudkan sebagai langkah yang tidak tergesa-gesa, namun dijiwai dengan pemikiran yang matang sebagai seorang pemimpin baik sebagai raja maupun gubernur. Selain itu, untuk memberikan teladan kepada rakyatnya bahwa seorang pemimpin hendaknya dalam mengambil keputusan harus dijiwai kematangan berfikir, sehingga hasilnya tidak merugikan semua pihak, katanya. Menurut dia, seorang tokoh Sri Sultan HB X dan rakyat Yogyakarta digambarkan bagai ikan dan air. Keduanya, yaitu air dan ikan digambarkan selalu bersama-sama karena saling membutuhkan. Keadaan itu digambarkan sewaktu masa reformasi tahun 1998, dimana saat itu Sri Sultan HB X bersama-sama rakyat Yogyakarta dalam acara `Pisowan Ageng` mencanangkan mendukung perubahan kepemimpinan Indonesia. Kepeloporan Sri Sultan HB X tersebut seperti yang pernah dilakukan oleh ayahandanya yaitu Sri Sultan HB IX yang waktu itu atas inisiatifnya menyelematkan Republik Indonesia yang baru lahir itu dengan menerima kepindahan pusat pemerintahan di Jakarta ke Yogyakarta. "Karenanya, kepeloporan pemimpin dan rakyat Yogyakarta hendaknya tetap bisa berlangsung. Apalagi, Yogyakarta bukan hanya sebagai suatu tempat namun juga sebagai spirit," katanya. Sementara itu, anggota Forum Komunikasi Paguyuban Pelangi Nusantara Bersatu, Sukardi Rinakit mengatakan, Sri Sultan HB X bisa menjadi pemimpin alternatif, karena dia bisa menjadi lokomotif perubahan di dalam bangsa ini. Sultan HB X sebenarnya sudah melakukan perubahan bahkan revolusi. Sebagai Raja Jawa yang hidup dalam alam feodalis, namun dia mampu membawa alam demokratis. "Sultan sadar betul bahwa sekarang ini hidup dalam sistem demkoratis," katanya. Arwan Tuti Artha, penulis buku tersebut yang sampai kini sebagai wartawan, mengatakan bahwa buku yang ditulisnya itu adalah sebuah alur berfikir seorang jurnalis. Buku tentang laku spiritual Sultan tersebut ditulis tanpa melakukan perjumpaan dengan Sultan secara fisik, tetapi studi teks di berbagai bahan tertulis.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009