Semestinya, agama dan sains saling mengintegrasikan dalam menghadapi wabah ini, sains ada keterbatasan dan agama juga begitu
Kuala Lumpur (ANTARA) - Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Malaysia mengangkat tema "Dampak COVID-19 terhadap Aktualisasi Keberagamaan di Indonesia dan Malaysia” dalam webinar internasional melalui Zoom terkait dengan dampak pandemi virus corona jenis baru itu, Minggu.
Empat pembicara dalam webinar itu, Dr. Muhammad Ayman Al-Akiti, Ketua Lembaga Bathsul Masail Nahdlatul Ulama Malaysia (NA’AM) dan dosen Universitas Islam Internasional Malaysia, Dr. M. Mahbubi Ali, Rois Syuriyah PCINU Malaysia dan research fellow IAIS Selangor.
Dari Indonesiai, Rumadi Ahmad, Staf Ahli Kepresidenan, Ketua Lakpesdam NU dan dosen UIN Jakarta, serta Yon Mahmudi, Ph.D, Kaprodi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.
Bertindak sebagai moderator Muhammad Taufiq Ahaz, Wakil Ketua PCINU Malaysia, dosen Fakultas Syariah IAIN Madura, dan kandidat Ph.D Universitas Islam Internasional Malaysia.
“Webinar internasional ini, merupakan webinar dengan topik COVID-19 pertama kali yang diadakan oleh PCINU Malaysia. Semoga hal ini akan memberikan manfaat kepada keberagamaan di Indonesia dan Malaysia, yang saat ini sedang sama-sama berjuang melawan wabah ini.”, kata Muhammad Abdullah Rois, Ketua Tanfidziyah PCINU Malaysia dalam sambutannya.
Rois Syuriyah PCI melihat dampak COVID-19 dari sisi maqashid syariahnya, terutama tentang perbandingan mana yang akan diutamakan antara hifdzu din (melindungi agama) dengan hifdzu nafs (melindungi jiwa).
Baca juga: NU Malaysia distribusi bahan makanan ke PMI
Ia juga menambahkan bahwa teks-teks agama telah membicarakan bagaimana cara menghadapi suatu wabah.
“Kehadiran COVID-19 memberikan peluang kepada kita, untuk mempelajari kembali teks-teks dalam menghadapi wabah. Agama telah memberikan solusi dan jalan keluar, baik yang disampaikan oleh Al Quran, hadis, maupun melalui kajian-kajian cendikiawan Muslim,” ujarnya.
Dr. Ayman dari Malaysia memaparkan tentang definisi antara taun dan wabah.
Dia menceritakan bagaimana COVID-19 bermula di Malaysia.
Menurut dia, Malaysia termasuk lambat dalam merespons datangnya pandemi itu. Ketika klaster baru dideteksi melalui pertemuan Jemaah Tabligh Dunia Malaysia, baru dimulai membatasi pergerakan rakyat untuk menghindari penularan virus yang lebih meluas.
“Adanya klaster-klaster baru bermunculan, menyebabkan pemerintah mengambil langkah berjaga-jaga. Salah satu contohnya adalah penutupan masjid oleh ulil amri atas nasihat mufti, untuk menghindari klaster-klaster baru terbentuk," katanya.
Pembicara selanjutnya Rumadi Ahmad, Ketua Lakpesdam NU melihat keberadaan COVID-19 dari sudut paradigma agama dan sains, baik dari sisi paradigma independen, pendukung, integrasi, maupun dialisis.
"Di Indonesia dalam minggu terakhir ini, terjadi perdebatan saling menundukkan antara proagama dan prosains. Semestinya, agama dan sains saling mengintegrasikan dalam menghadapi wabah ini, sains ada keterbatasan dan agama juga begitu,” katanya.
Pernyataan Rumadi ditimpali Yon Mahmudi, Kaprodi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam dari Universitas Indonesia.
Dia mengatakan agama dan pengetahuan harus fleksibel dengan adanya perubahan.
“Menjauhi wabah jauh lebih baik, untuk menghindari penyebaran yang lebih besar, kita perlu jaga diri dan keluarga. Di saat kita begitu perhatian dengan kehidupan akhirat, maka semestinya juga kita harus memberikan perhatian yang sama kepada kehidupan dunia," ujarnya.
Webinar sekitar tiga jam diikuti hampir 200 orang dan ditutup dengan pembacaan doa oleh Mustasyar PCINU Malaysia K.H. Liling Sibromilisi.
Baca juga: Menlu Retno ajak umat bersama memenangkan jihad melawan COVID-19
Baca juga: PCINU Hong Kong galang dana bantu UMKM terdampak COVID-19
Pewarta: Agus Setiawan
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020