Kebutuhan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan, itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal.

Jakarta (ANTARA) - Pemerintah telah memutuskan untuk menjalankan kebijakan normal baru atau new normal, meski pandemi COVID-19 belum menunjukkan adanya tanda-tanda akan berakhir.

Presiden Joko Widodo menjelaskan bahwa kondisi tatanan kehidupan baru di tengah pandemi virus corona baru merupakan keniscayaan yang akan dihadapi masyarakat.

Jokowi menegaskan hidup berdampingan dengan COVID-19, dengan mempertimbangkan data dan fakta perkembangan pandemi, bukan berarti menyerah.

Ia mengajak masyarakat melawan wabah untuk beraktivitas kembali secara aman, nyaman dan produktif dengan mengedepankan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.

"Keselamatan masyarakat tetap harus menjadi prioritas. Kebutuhan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan, itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal," ujarnya

Salah satu pertimbangan Presiden adalah pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menilai bahwa virus yang menyerang saluran pernapasan itu tidak akan segera menghilang dan tetap ada di tengah masyarakat.

"Artinya kita harus berdampingan hidup dengan COVID-19. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, berdamai dengan COVID-19. Sekali lagi, yang penting masyarakat produktif, aman, dan nyaman," ujarnya.

Presiden optimistis jika masyarakat mematuhi protokol kesehatan, seperti menjaga jarak aman, mengenakan masker, dan sering mencuci tangan dengan sabun, maka penularan dapat dicegah.

Kepala Negara juga menekankan pemerintah terus memantau waktu terbaik bagi dimulainya periode tahapan masyarakat kembali produktif dan tetap aman dari COVID-19.

Jika nanti tahapan masyarakat produktif, aman, dari COVID-19 dapat diterapkan, Presiden mengatakan berbagai sektor usaha dapat beroperasi kembali.

Baca juga: Menristek: 10 tren baru teknologi selama normal baru

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan protokol dalam menjalankan normal baru sedang diupayakan untuk menggairahkan kembali kinerja perekonomian.

Strategi tersebut, kata Airlangga, akan mencakup kriteria yang menentukan kesiapan masing-masing daerah untuk memasuki tatanan kehidupan baru di segala aspek.

Kriteria yang akan digunakan pemerintah, antara lain adalah reproduction rate untuk melihat perkembangan pandemi virus Corona tipe baru di sejumlah daerah.

Bila daerah mempunyai reproduction rate atau R0 di atas 1 maka daerah tersebut masih di tahap penularan yang tinggi. Sementara bila R0 di bawah 1, itu menandakan penyebaran COVID-19 di sudah mulai landai.

"Bila kurang dari satu sudah bisa dibuka untuk normal baru," ujarnya.

Baca juga: Reisa: Adaptasi normal baru harus diikuti kondisi wilayah

Kriteria lainnya adalah kesiapan daerah yang dinilai berdasarkan aspek epidemiologi, maupun kesiapsiagaan pemerintah daerah dan kedisiplinan masyarakat.

Nantinya, pemerintah pusat akan memberikan salah satu dari lima skor yang merepresentasikan kesiapan daerah untuk memasuki fase kehidupan baru.

Tahap 1 adalah krisis, artinya daerah itu belum siap, tahap 2 adalah parah yang juga artinya daerah tersebut belum siap, tahap 3 adalah substansial, tahap 4 adalah moderat dan tahap 5 adalah rendah.

Sejumlah sektor industri juga sedang menyiapkan standar operasional untuk memasuki kehidupan normal baru yang akan dikoordinasikan dengan Satuan Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.

Menurut rencana, normal baru sebagai standar baru kegiatan itu juga berlaku di berbagai sektor, misalnya pariwisata, pendidikan, restoran, akomodasi, rumah ibadah, transportasi dan lainnya.

Berdasarkan data hingga pertengahan Juni 2020, hanya 92 kabupaten kota di Indonesia yang belum terdampak COVID-19, sisanya 136 berisiko rendah, 220 sedang dan 66 tinggi.

Baca juga: Gubernur Kaltara: Presiden arahkan daerah tak boleh lengah soal corona

Anggaran

Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan normal baru, pemerintah juga menambah anggaran untuk mengatasi pandemi COVID-19 di Indonesia hingga mencapai Rp677,2 triliun.

Dari jumlah tersebut sebanyak Rp589,65 triliun akan dimanfaatkan untuk pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mencakup adanya pemberian bantuan sosial, subsidi maupun insentif.

Program itu antara lain untuk bantuan perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif perpajakan Rp123,01 triliun, restrukturisasi UMKM dan padat karya Rp82,2 triliun serta subsidi bunga Rp35,28 triliun.

Dengan adanya penambahan anggaran, maka defisit anggaran juga diperlebar menjadi 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp1.039,2 triliun.

Pemerintah menyadari program ini perlu dilaksanakan secara beriringan dengan normal baru karena ekonomi Indonesia mengalami tekanan berat dari sisi produksi.

Selain itu, pendapatan serta daya beli masyarakat juga terus mengalami penurunan, padahal komponen terbesar pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) adalah konsumsi rumah tangga.

Baca juga: Peneliti : Pemerintah perlu fokus perbaiki tingkat konsumsi masyarakat

Kondisi ini apabila terjadi secara berlarut-larut dapat menyebabkan terjadinya penurunan kelas masyarakat yang berpotensi melahirkan masalah sosial baru.

Meski demikian, pemerintah juga mempunyai keterbatasan karena pendanaan untuk masyarakat atau industri itu tidak bisa berlangsung lama, atau hanya sekitar enam bulan.

Dengan adanya program stimulus tersebut, setidaknya pelaksanaan kegiatan ekonomi nasional di berbagai sektor dapat kembali pulih secara bertahap.

Kegiatan yang beriringan dengan normal baru ini juga diharapkan dapat meningkatkan kembali pendapatan pajak yang terjadi melalui transaksi jual beli.

Pajak ini penting karena pemerintah tidak mungkin terus menerus mengandalkan pembiayaan dari utang maupun pinjaman untuk menangani dampak COVID-19.

Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede memastikan kebijakan normal baru akan terjadi hingga adanya penemuan vaksin.

"Mudah-mudahan tahun depan kita sudah mendapatkan vaksin dan tersebar ke seluruh masyarakat Indonesia," katanya dalam webinar di Jakarta, Selasa (9/6).

Meski vaksin telah ditemukan paling cepat pada 2021, ekonom senior ini memperkirakan ekonomi Indonesia baru bisa pulih sebagian.

"Ini mungkin butuh waktu setengah hingga satu tahun lagi, tahun 2022 hingga 2023 baru dia kembali ke pra COVID-19," ucapnya.

Raden juga memaparkan perkiraan pola pemulihan ekonomi yang akan keluar dari dampak pandemi pada Juni 2020 dan pelan-pelan mulai bergerak menanjak positif.

Baca juga: Pengamat ekonomi katakan normal baru pulihkan daya beli masyarakat

Sebelumnya, ekonomi Indonesia mulai terdampak COVID-19 pada Maret 2020 dan merosot pada posisi terbawah pada April-Mei 2020.

Kondisi itu yang membuat perekonomian nasional hanya tumbuh 2,97 persen pada triwulan I-2020 karena kinerja konsumsi rumah tangga yang melambat.

Untuk itu, sasaran utama dalam kebijakan normal baru adalah memulihkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan menekan angka kemiskinan.

Tak hanya dari pemerintah, Raden mendorong swasta juga ikut mendorong perekonomian nasional usai pandemi berakhir agar ekonomi Tanah Air bisa kembali pulih.

"Ini yang diharapkan menjadi pemicu untuk menggerakkan kita tumbuh ke depan," katanya.

Baca juga: Presiden berharap bantuan sosial pemerintah tingkatkan daya beli warga

Pertumbuhan

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mendukung adanya skenario normal baru untuk mendorong aktivitas ekonomi dan sosial secara perlahan.

Penerapan rencana new normal ini juga sudah direspon positif oleh para pelaku usaha maupun pasar keuangan yang terlihat dari membaiknya IHSG maupun stabilnya pergerakan rupiah.

Namun, ia mengingatkan kebijakan yang dapat menjadi pola hidup baru bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, harus dilakukan dengan protokol kesehatan untuk mencegah penularan.

Pingkan juga mengharapkan persiapan menuju normal baru harus terus dimatangkan seiring dengan jumlah kasus yang masih meningkat setiap harinya.

"Yang jadi pertanyaan masyarakat selanjutnya adalah apakah pemerintah pusat dan daerah sudah siap untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut," ujarnya.

Ia optimistis, melalui koordinasi dan kesiapan yang memadai, kebijakan ini dapat berjalan optimal, mengingat masyarakat sudah memiliki kesadaran dalam mencegah penyebaran COVID-19.

Dengan adanya persiapan yang matang, maka pemerintah bisa fokus untuk memulihkan konsumsi rumah tangga yang terdampak oleh lesunya daya beli masyarakat.

"Konsumsi yang meningkat akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi di ragam sektor sehingga berdampak menggerakkan roda-roda perekonomian," kata Pingkan.

Baca juga: Hipmi: Tambahan belanja APBN untuk COVID-19 jaga daya beli masyarakat

Direktur Riset Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah juga mengapresiasi adanya stimulus untuk mendukung kebijakan normal baru dalam situasi saat ini.

Ia menilai stimulus yang diberikan melalui penambahan anggaran itu dapat mampu menahan laju perlambatan ekonomi agar tidak terkontraksi ke zona negatif.

Meski demikian, menurut dia, paket pemulihan ekonomi ini belum efektif untuk menunjang kinerja perekonomian untuk tumbuh lebih optimal.

"Stimulus itu memang bukan untuk membuat perekonomian kita ke atas tapi untuk menahan laju perlambatan ekonomi," katanya.

Dengan upaya itu, Piter memproyeksikan kinerja ekonomi yang melambat pada triwulan I dan terkontraksi pada triwulan II-2020 dapat bertahan di zona positif.

Namun, kebijakan normal baru perlu diiringi dengan semangat kehati-hatian, mengingat berdasarkan sejarah, pandemi tidak hanya berlangsung dalam waktu beberapa bulan saja.

Pandemi ini bisa mencapai tahunan yang terdiri dari beberapa gelombang seperti Flu Spanyol pada 1918, yang baru selesai sepenuhnya pada 1920.

Oleh karena itu, penerapan kebijakan new normal harus disertai dengan evaluasi keamanan secara menyeluruh serta penerapan protokol kesehatan secara ketat.

Tentu saja, pemerintah harus terus mengevaluasi pergerakan kurva kasus pasien positif, kurva pasien sembuh, dan kurva pasien meninggal, karena pemulihan kesehatan merupakan ujung tombak dari penanganan COVID-19.

Tanpa penanganan kesehatan yang memadai, ekonomi hanya akan berjalan di tempat, bahkan bisa terjun bebas menuju jurang ketidakpastian.

Baca juga: Pengamat nilai usai pandemi Omnibus Law dapat dorong ekonomi
Baca juga: Pemerintah yakini industri kesehatan jadi andalan di era normal baru

Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2020