Jakarta (ANTARA News) Mantan anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK Hikmahanto Juwana menyayangkan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)yang memungkinkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk pelaksana tugas pimpinan KPK.
Hikmahanto Juwana yang juga merupakan Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) mengatakan di Jakarta, Selasa, Perppu itu tidak berdampak pada penyelamatan terhadap KPK tetapi justru berpotensi mempermasalahkan kewenangan yang dimiliki oleh Presiden dalam penerbitan Perppu.
Guru Besar Ilmu Hukum tersebut menyatakan paling tidak ada tiga alasan bahwa penerbitan Perppu oleh Presiden patut disayangkan atau dipertanyakan.
"Pertama, bila penerbitan Perppu dilakukan untuk mengamandemen Pasal 33 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(KPK), maka apakah saat ini telah terjadi kekosongan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat 1 itu ," katanya.
"Apakah Perppu melakukan amandemen atas kata 'kekosongan' dalam Pasal 33 ayat 1 sehingga menjadi 'Dalam hal terjadi Pimpinan KPK tersisa dua anggota maka Presiden dapat menunjuk Pelaksana Tugas Pimpinan KPK tanpa mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 29, 30 dan 31 Undang-undang ini," tanya Hikmahanto.
"Bila hal ini yang terjadi maka Perppu akan menciderai semangat dari UU 30/2002. Ini merupakan alasan kedua dimunculkannya Perppu. Padahal UU 30/2002 baik pada bagian konsiderans, batang tubuh maupun penjelasan secara tegas menghendaki independensi dari lembaga KPK," katanya.
Hikmahanto mengatakan, independensi yang dikehendaki oleh UU mencakup struktur kelembagaan, fungsi dan perekrutan pimpinan KPK.
"Dalam perekrutan tidak hanya Presiden yang menentukan tetapi juga diawali oleh pemilihan di tingkat Pansel (panitia seleksi, kemudian diakhiri dengan penentuan oleh DPR. Komposisi pansel, secara tegas disebutkan oleh UU harus terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat," katanya.
Guru besar ilmu hukum ini menyatakan independensi tersebut penting mengingat berbagai lembaga antikorupsi yang dibentuk pada masa lampau gagal karena independensinya terganggu.
Terakhir alasan menyayangkan diterbitkannya Perppu adalah sama sekali tidak memperhatikan proses hukum yang terjadi ditingkat kepolisian.
"Penetapan tersangka dua pimpinan KPK oleh polisi sangat bisa dipermasalahkan. Polisi terkesan memaksakan pasal yang digunakan untuk menyangka dua Pimpinan KPK," kata Hikmahanto.
Menurut dia, penyalahgunaan wewenang yang digunakan oleh polisi untuk menyangka sangat lemah.
"Ini karena dasar sangkaan bukanlah penyalahgunaan wewenang yang berindikasi korupsi melainkan kesalahan prosedur dalam melaksanakan wewenang pencekalan yang dimiliki oleh KPK," kata Hikmahanto.
Polisi dalam sejumlah kesempatan menyampaikan bahwa Chandra dan Bibit dianggap tidak memenuhi prosedur rapat dengan seluruh anggota KPK dalam penetapan pencekalan terhadap Anggoro dan Joko Chandra.
"Salah prosedur dalam proses penegakan hukum memang kerap terjadi. KPK, kalau memang demikian pendapat polisi, bukanlah satu-satunya dan pertama kali.Polisi, jaksa, hakim ataupun aparat penegak hukum lainnya kerap dipermasalahkan dari segi salah prosedur," katanya.
"Upaya hukum untuk mempermasalahkan tentu tersedia. Hanya saja upaya hukum bagi salah prosedur oleh aparat penegak hukum, kecuali penyiksaan, tidak dikenai sanksi pidana.Upaya hukum ini terbuka dan dilakukan oleh korban yang dirugikan dari salah prosedur," kata Hikmahanto.
"Dalam konteks penetapan dua pimpinan KPK maka aneh jika Polisi yang mempermasalahkan. Aneh karena polisi seolah menjadi LSM atau pengacara bagi Anggoro maupun Joko Chandra yang menjadi korban. Lebih aneh lagi karena polisi telah menggunakan kewenangan kepolisiannya, sesuatu yang tidak dimiliki oleh LSM maupun pengacara," katanya.
Hikmahanto berpendapat agar tidak mempersulit DPR yang harus menyetujui atau menolak Peprpu itu, maka akan bijak bila Presiden segera mencabut Perppu tersebut.(*)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009