Kathmandu, (ANTARA News) - Hampir tiga tahun setelah Kesepakatan Perdamaian Menyeluruh (CPA), Nepal tetap menjadi zona konflik dengan pembunuhan, penculikan dan pelanggaran serius hak asasi manusia tanpa henti, demikian laporan media lokal, Selasa.

Jika pemberontakan selama 10 tahun merenggut 13.000 jiwa, dua tahun dan 10 bulan belakangan telah menyaksikan sebanyak 1.284 kematian, 2.100 penculikan dan menjamurnya lebih dari 100 jaringan bawah tanah bersenjata, demikian catatan Pusat Layanan Sektor Tak Resmi (INSEC), sebagaimana dikutip dari Xinhua-OANA.

Gambaran pembunuhan di satu kabupaten pasca-CPA ialah sebanyak 33 persen di antaranya dilakukan oleh kelompok tak dikenal yang bersenjata.

Meskipun dua pasukan yang bertikai pada era pra-CPA --Partai Komunis Bersatu Nepal (Maoist) (UCPN-M) dan negara-- tampaknya tak terlalu terlibat dalam pembunuhan tersebut pada masa pasca-CPA, sejumlah kekuatan baru bertanggung jawab atas 90 persen kematian.

Menurut laporan tersebut, meskipun UCPN-M dan negara, masing-masing, diduga membunuh sebanyak 31 dari 112 orang, 1.141 orang tewas oleh kelompok baru yang bersenjata.

Selain penyebaran kekuatan baru yang bersenjata di wilayah Terai, Nepal selatan, berbagai partai politik juga telah membentuk sayap pemuda semi-bersenjata.

Tindakan itu telah memperburuk keadaan. Misalnya, Liga Pemuda Komunis UCPN-M membunuh 10 orang dan menculik 336 orang di wilayah tersebut.

Keengganan pemerintah terhadap penerapan kesepakatan yang lalu dan kecenderungan di kalangan partai politik untuk membela kegiatan kriminal sayap pemuda mereka juga telah memperburuk keadaan, kata Ganesh Bhandari dari INSEC. Ia memberi penjelasan mengenai keadaan pasca-CPA pada Hari Perdamaian Dunia, Senin.(*)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009