Denpasar (ANTARA News) - Setangkai bunga menyambut di pintu masuk, sepotong kertas cokelat kecil tersisip diantara daunnya, sebaris pesan tertulis di atasnya, damai di langit, damai di bumi dan damai di setiap hati umat manusia.
Sebuah keharusan dijalani, jika umat manusia ingin hidup berdampingan secara damai. sikap toleransi itu dapat dikembangkan seperti yang selama ini dilakoni Forum Komunikasi Antarumat Beragama Provinsi Bali yang diketuai, Drs Ida Bagus Gede Wiana.
Upaya mewujudkan kerukunan dan keharmonisan umat beragama itu sebenarnya tidak terlalu berat dalam penerapannya, asalkan dilandasi toleransi dan rasa saling menghormati satu sama lain.
Kerukunan antar umat beragama di Bali selama ini sangat mantap dan harmonis, hidup berdampingan satu sama lainnya yang diwarisi secara turun-temurun sejak sekitar lima ratus tahun silam.
Kerukunan antar umat beragama sangat kokoh berkat Konsep "menyama braya", yakni persaudaraan yang betul-betul diterapkan dalam kehidupan umat beragama di Bali, tutur seorang tokoh muslim di Bali Drs Haji Mulyono (76).
Pria kelahiran Solo yang menetap di Bali sejak 1962 yang pernah menjabat sebagai Asisten Sekretaris Daerah Provinsi Bali itu menilai, kehidupan umat beragama yang "mesra dan harmonis" yang dapat diwujudkan Pulau Dewata diharapkan dapat tetap terpelihara dengan baik.
Upaya tersebut mampu mendukung terciptanya kondisi yang aman, nyaman dan tenteram, sekaligus memberikan kesejukan di hati umat manusia.
Agama Islam dan Hindu sesungguhnya memiliki banyak persamaan bahkan terjadi akulturasi menyangkut seni dan budaya dari kedua agama tersebut di Pulau Dewata, tutur suami dari Ntin Charoh NHG.
Kesamaan itu antara lain terdapat pada buku dan "Geguritan" (pembacaan ayat-ayat suci Hindu), yang ternyata di dalamnya mengandung unsur nuansa Islam. Bukti lain dari terjadinya akulturasi Islam-Hindu adalah di Desa Pegayaman Kabupaten Buleleng, Kepaon Kota Denpasar dan Desa Loloan di Kabupaten Jembrana.
Desa Pegayaman misalnya, sebagian besar warganya memeluk agama Islam, namun nama depannya sama seperti orang Bali pada umumnya, sehingga muncul nama seperti Wayan Muhammad Saleh atau Made Jalaluddin.
Dalam budaya, umat Islam Bali telah "berbaur" dengan budaya setempat, terlihat dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat masyarakat Bali Hindu.
Sistem pengairan bidang pertanian tradisional (subak) misalnya, umat muslim menerapkan pola pengaturan air seperti yang dilakukan petani yang beragama Hindu, meskipun cara mensyukuri saat panen berbeda.
Umat Islam yang mengolah lahan pertanian di Subak Yeh Sumbul, Medewi, Pekutatan dan Subak Yeh Santang, Kabupaten Jembrana, daerah ujung barat Pulau Bali, menerapkan sistem pengairan secara teratur seperti umumnya dilakukan petani Pulau Dewata, ungkap ayah dari lima putra-putri yang telah dikaruniai lima cucu.
Adanya unsur kesamaan antara Islam dan Hindu itu dapat dijadikan tonggak lebih menciptakan `kemesraan` dan tali persaudaraan antara Hindu dan Islam, termasuk umat lain di Pulau Dewata, bahkan di Nusantara.
Berbagai keunikan itu menjadi daya tarik tersendiri dari berbagai segi, baik oleh wisatawan mancanegara, sosiolog maupun budayawan dari belahan dunia.
Kondisi demikian tidak mengherankan, jika Pulau Seribu Pura itu bertambah tenar, bahkan terkadang melampaui keterkenalan Indonesia, negara yang berpenduduk muslim terbesar, ujar Mulyono yang dipercaya sebagai Ketua Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Provinsi Bali.
Sejak 500 tahun silam
Akulturasi dan kerukunan antarumat beragama di Bali sangat mesra dan harmonis, tidak pernah terjadi "benturan". Hal itu diwarisi secara turun-temurun sejak 500 tahun lalu.
Terciptanya kerukunan hidup beragama demikian itu berkat adanya saling pengertian serta saling hormat-menghormati antarwarga berlainan suku maupun agama di Pulau Dewata, tutur Kepala Bidang Bimas Islam Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali, Haji Musta`in SH
Kerukunan antarumat beragama yang hidup berdampingan satu sama lainnya itu diharapkan dapat terus dipelihara dan dipupuk dalam mengembangkan kerukunan yang dinamis, sekaligus terhindar pengaruh luar yang negatif.
Kerukunan telah menjadi satu pandangan yang sama dalam membangun kualitas kehidupan yang lebih baik di Pulau Dewata. Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai Dharma Wijaya Mantra misalnya mengundang para tokoh dan umat muslim untuk berbuka puasa bersama.
Demikian pula Wakil Gubernur Bali Drs Anak Agung Ngurah Puspayoga yang semuanya itu mencerminkan tekad untuk memelihara keharmonisan dan kerukunan umat beragama yang selama ini sangat mantap dan kokoh.
Masyarakat Bali dikenal sangat toleran terhadap para pendatang maupun wisatawan dalam menikmati liburan di Pulau Dewata dan hampir tidak pernah ada masalah.
Bahkan di Bali satu-satunya di Indonesia yang telah terbentuk persatuan etnis Nusantara. Mereka satu sama lain telah terjalin kerjasama yang baik, bertekad untuk menjaga keutuhan Bali, agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika menilai, meskipun masyarakat Bali sesama pendatang maupun umat lain hampir tidak pernah ada masalah, namun gesekan-gesekan antar satu desa adat dengan tetangganya sering terjadi.
Kondisi itu sangat rawan terhadap kemungkinan terjadinya konflik, atau hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Gubernur Pastika dalam setiap kesempatan mengajak masyarakat kembali pada jati diri orang Bali, melakoni hidup rukun, aman, damai dan saling menghargai.
Keunggulan lokal yang dimiliki masyarakat Bali hendaknya dapat dipegang kokoh, mengingat dalam era globalisasi ada kecenderungan nilai-nilai kehidupan masyarakat Bali mengalami pergeseran.
Para tokoh-tokoh dan masyarakat diingatkan untuk memegang teguh kepatuhan, maupun sopan santun dan keramah-tamahan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.(*)
Oleh I Ketut Sutika
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009