Palu (ANTARA News) - Suasana haru menjelang hari raya Idul Fitri 1420 H menyelimuti empat kepala keluarga atau sekitar 16 jiwa warga negara Indonesia di pulau Ikeshima, sebuah pulau pusat tambang batu bara bawah tanah dan laut tercanggih di Jepang.

"Kami hanya bisa mengingat kampung halaman di malam hari raya. Sedih juga rasanya. Kami tetap merayakan hari raya sendiri karena tidak mungkin kami ke Nagasaki," kata seorang pelajar utusan Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Djambar Wardana kepada ANTARA yang dihubungi melalui Facebook, Sabtu malam.

Dia mengatakan, Sabtu sore beberapa kepala keluarga sempat bertemu di pusat belanja untuk persiapan hari raya. Mereka saling mengajak untuk merayakan hari raya Idul Fitri bersama suatu tempat. Dia mengatakan, untuk bertemu di pulau Ikeshima tidak sulit karena luas pulau yang masih bagian dari Nagasaki tersebut hanya sekitar 1 x 1 kilometer persegi.

Perayaan hari raya di Ikeshima yang jatuh pada Minggu (20/9) akan dilaksanakan di sebuah lapangan olahraga. Djambar mengatakan, umat muslim yang kurang dari 20 orang itu akan melaksanakan shalat ied di lapangan tersebut.

Djambar menceritakan empat kepala keluarga yang kini di pulau Ikeshima tersebut sudah menetap sekitar delapan tahun. Mereka bekerja sebagai penerjemah di JCOAL.

JCOAL adalah semacam konsorsium yang mengurus seluruh tambang batu bara Jepang di bawah Kementrian Energi Jepang (METI).

"Kami dididik di salah satu tambang milik Mitsui Matsushima Resources punya Mitshubitshi. Tambang batu bara adalah hal terpenting dalam sejarah Jepang. Mereka bisa berjaya di tahun 1945, dan bisa seperti hari ini karena Batubara," kata Djambar yang sudah menjelang tiga bulan belajar di Ikeshima.

Menurut dia, selama tiga bulan di pulau itu jadwal belajar sudah diatur sedemikian ketat namun tidak mempengaruhi kegiatan ibadah puasa, termasuk Idul Fitri. Apalagi hari raya Idul Fitri 1430 H tepat hari Ahad sehingga tidak mempengaruhi kegiatan belajar.

Dia mengakui selama Ramadhan di pulau itu tidak pernah terdengar suara mengaji ataupun adzan seperti yang kerap berkumandang di Indonesia.

"Kami di sini hanya belajar. Jadwal sudah diatur sedemikian ketat. Yang ada di sini hanya para sensei, guru atau dosen yang kerjanya hanya mengajar kami di kelas dan di underground," katanya.

Menurut Djambar, dulu di pulau tersebut juga menjadi pusat belajar China dan Vietnam, tetapi sekarang mereka dipindah ke Kushiro Hokaido, bagian Utara Jepang.

"Kami mujur bisa belajar di sini dan diajar langsung oleh mereka yang profesional. Beberapa kali kami juga keluar untuk kunjungan budaya ," katanya.

Warga negara Indonesia yang muslim lainnya banyak di Nagasaki. Tetapi tidak memungkinkan untuk melaksanakan shalat Ied di sana karena jarak tempuhnya sekitar dua jam dari pulau Ikeshima.

Djambar mengatakan, Indonesia perlu belajar banyak soal pengelolaan tambang terutama dengan teknologi underground, sustainable development, serta bagaimana menjaga lingkungan dan budaya pertambangan Indonesia.

Menurutnya, potensi pertambangan di daerah perlu dimaksimalkan di era otonomi daerah.

"Tambang kita dieksploitasi besar-besaran tapi apa yang kita dapat ?," ungkapnya.

Djambar Wardana adalah pegawai negeri sipil di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Dia mendapat tugas belajar pertambangan di Ikeshima atas rekomendasi Bupati Parigi Moutong Longky Djanggola.

Pegawai pada Dinas Pertambangan Parigi Moutong itu merupakan lulusan Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta tahun 1998.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009