Jakarta (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menyatakan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi tidak pernah menolak penerimaan uang yang sudah dikumpulkan oleh bekas asisten pribadinya Miftahul Ulum.
"Dalam persidangan terungkap fakta hukum bahwa terdakwa Imam Nahrawi selaku Menpora memang sudah mengetahui sejak awal mengenai adanya permintaan uang yang dilakukan oleh Miftahul Ulum selaku asisten pribadinya untuk kepentingan Imam Nahrawi. Terdakwa tidak pernah mengembalikan atau menolak uang-uang yang sudah diterima Miftahul Ulum untuk kepentingannya," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Ronald Worotikan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp19,154 miliar dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun.
JPU KPK menilai Imam Nahrawi bersama-sama dengan Miftahul Ulum terbukti menerima suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp8,648 miliar.
Baca juga: Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara
Baca juga: JPU KPK: Dugaan penerimaan uang ke Kejagung dan BPK layak didalami
Dalam kesempatan itu, Jaksa mengatakan terdakwa Imam Nahrawi seolah-olah melakukan pembiaran dan tidak memberikan sanksi kepada Miftahul Ulum selaku asisten pribadi, padahal Imam selaku Menpora memiliki wewenang pengawasan melekat kepada anak buahnya termasuk Ulum.
Imam juga disebut tidak memberikan sanksi apapun kepada Ulum meski sudah dilapori beberapa pihak mengenai permintaan uang oleh Ulum.
"Hal ini juga menjadi pertanyaan, bahwa terdakwa juga tidak pernah memberikan sanksi administratif maupun pemecatan kepada Miftahul Ulum sejak terdakwa mengetahui laporan tersebut. Miftahul Ulum baru diberhentikan selaku asisten pribadi terdakwa jauh setelahnya yaitu pada 2019 setelah dilakukan OTT oleh KPK," tambah Jaksa Ronald.
Hal tersebut didukung dengan fakta hukum bahwa Imam pernah mendapatkan laporan langsung terkait adanya permintaan uang dari Ulum yang mengatasnamakan Imam dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015-2016 Lina Nur Hasanah.
Baca juga: Aspri eks menpora Imam Nahrawi dituntut 9 tahun penjara
Baca juga: Hibah KONI disidik Kejagung beda dengan suap Kemenpora ditangani KPK
Jaksa mengatakan, dalam persidangan Lina Nurhasanah pernah menyampaikan langsung kepada Imam Nahrawi selaku Menpora kenapa sampai terjadi temuan Rp11 miliar oleh BPK dan saksi menjelaskan antara lain dipakai untuk operasional kunjungan kerja setiap titik sebesar Rp75 juta dan pembelian rumah sejumlah Rp2 miliar.
"Tanggapan terdakwa Imam Nahrawi lebih banyak mendengarkan dan Lina meminta solusi kepada terdakwa namun pada saat itu terdakwa tidak memberikan solusi apa-apa dan hanya mengatakan 'ya sudah nanti saya pikirkan'," ungkap jaksa.
Bantahan Imam mengenai keterangan menurut jaksa patut untuk dikesampingkan, karena keterangan terdakwa tersebut tidak didukung oleh alat bukti lain yang sah.
Jaksa mengatakan, setelah terdakwa Imam Nahrawi menerima laporan dari Lina Nurhasanah tersebut, ia sama sekali tidak mengambil langkah perbaikan terhadap masalah tersebut bahkan cenderung melakukan pembiaran terhadap perbuatan yang dilakukan Miftahul Ulum selaku asisten pribadi terdakwa.
Baca juga: Mantan Menpora Imam Nahrawi debat eks deputi Kemenpora dalam sidang
Baca juga: Saksi sebut "pegel" tagih cicilan penjualan tanah Imam Nahrawi
Hal itu bertolak belakang dengan pengakuan terdakwa di persidangan yang menyatakan telah menyampaikan kepada jajaran pegawai Kemenpora agar memberitahu terdakwa jika ada pihak-pihak yang meminta sejumlah uang mengatasnamakan terdakwa selaku Menpora.
JPU KPK mendakwa Imam Nahrawi dengan dua dakwaan. Dalam dakwaan pertama, Imam Nahrawi bersama bekas asisten pribadinya Miftahul Ulum dinilai terbukti menerima uang seluruhnya berjumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy.
Atas tuntutan tersebut, Imam akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) pada 19 Juni 2020.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020