Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah tokoh nasional sepakat untuk mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mempertahankan keutuhan dan kewenangan lembaga tersebut.
Hal itu adalah rangkuman sembilan butir pernyataan sikap para tokoh nasional itu yang disusun di gedung KPK, Jakarta, Rabu malam.
Pernyataan sikap itu dihadiri oleh sejumlah tokoh, antara lain praktisi hukum Bambang Widjojanto, Ketua MUI Amidhan, ekonom Faisal Basri dan Rheinald Kasali, pengacara Todung Mulya Lubis, serta sosiolog Imam Prasojo.
Selain itu, juga hadir sejumlah tokoh dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia.
Pernyataan sikap itu antara lain berisi desakan kepada presiden untuk mengkaji ulang tuduhan dan penetapan dua pimpinan KPK, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka.
Mereka berpendapat, perlu pembentukan tim independen krn terdapat dugaan konflik kepentingan oleh salah seorang petinggi Polri yang ikut terlibat dalam penanganan kasus itu.
Para tokoh itu juga meminta penundaan pemberhentian sementara dua pimpinan KPK tersebutsampai ada hasil pemeriksaan komite etik dan tim independen bahwa memang terjadi pelanggaran.
Mereka juga menolak segala upaya kriminalisasi kebijakan pimpinan yang telah sesuai prosedur operasional baku dan UU yang berlaku. Kriminalisasi itu mengakibatkan ketidakefektifan dan kevakuman pimpinan KPK dalam menjalankan tugas.
Kemudian, tokoh-tokoh itu mendesak pemerintah untuk tetap memperkuat KPK dengan kewenangan penyadapan dan penuntutan.
Mereka juga menolak segala upaya pelemahan KPK melalui proses legislasi RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sosiolog Imam Prasojo menegaskan, pemberantasan korupsi adalah amanat reformasi, seperti tertuang dalam Tap MPR nomor 11 tahun 1998 yang kemudian dilengkapi dalam UU nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Aturan itu juga dilengkapi dengan pembentukan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi awal pembentukan KPK.
"Ini bukan hanya masalah hukum tapi amanah reformasi," kata Imam.
Menurut dia, reformasi 1998 terjadi akibat intervensi rakyat secara langsung karena merasa tidak puas terhadap penyelenggaraan negara.
Imam menjelaskan, rakyat bisa melakukan intervensi lagi jika tidak puas dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, terkait kasus yang sekarang dihadapi oleh KPK.
"Saya tidak ingin ada reformasi kedua," kata Imam.
Menurut Imam, langkah polisi dalam menetapkan pimpinan KPK sebagai tersangka telah melebihi kewenangan. Hal membuat apresiasi dunia internasional turun.
Sementara itu, pengacara senior dan aktivis antikorupsi, Todung Mulya Lubis mengatakan sudah saatnya presiden turun tangan dan membela pemberantasan korupsi.
"Sudah waktunya presiden turun tangan untuk dukung KPK secara poltis," kata Todung.
Dia menganggap penetapan pimpinan KPK sebagai tersangka adalah upaya pelemahan yang sistematis. Menurut Todung, polisi tidak memiliki dasar hukum untuk mengevaluasi kewenangan KPK.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009
lanjutkan pemberantasan korupsi....
dukung KPK....
jangan kebiri kewenangan KPK...
(terlepas dari kelakuan oknum2 tertentu yang tidak sejalan dengan visi dan misi KPK)
jangan buat kami-kami yang telah memilihmu menjadi menyesal...