Brisbane (ANTARA News) - Keputusan Polisi Federal Australia (AFP) menginvestigasi kasus kematian lima wartawan Australia di Balibo, Timor Timur tahun 1975 dianggap Indonesia sebagai sebuah "kejutan" pahit di tengah hubungan bilateral yang demikian baik.
Kematian lima wartawan Australia di Balibo, Timor Timur (kini Timor Leste) tahun 1975 itu dikenal dengan kasus "Balibo Five".
Pengumuman AFP yang menyentak Jakarta 8 September 2009 itu bak memutar kembali jarum jam tahun 2006, saat Perdana Menteri John Howard "mengejutkan" Indonesia dengan pemberian visa proteksi kepada 42 warga Papua yang menyeberang dengan perahu ke Australia.
Langkah Howard menghadiahkan visa proteksi kepada orang-orang Papua, termasuk gembong separatis Herman Wainggai yang hingga kini terus berkampanye bagi kepentingan politiknya itu membuat marah Jakarta.
Namun kemarahan Indonesia yang antara lain ditunjukkan dengan memanggil pulang sementara TM Hamzah Thayeb, Duta Besar (Dubes) RI untuk Australia dan Vanuatu saat itu, ditanggapi ringan oleh Howard.
Alih-alih menunjukkan empati pada kegusaran Indonesia itu, Howard justru menganggap pemberian visa proteksi tersebut tidak akan mengganggu hubungan kedua negara sekalipun Jakarta memandang keputusan Canberra itu sebagai pengingkaran terhadap kedaulatan Indonesia atas Papua.
"Kejutan" tahun 2006 yang nyaris mengembalikan hubungan Australia-Indonesia ke titik nadir seperti saat kasus Timor Timur (1999) itu agaknya tidak dianggap sebagai pelajaran oleh pemerintahan PM Kevin Rudd.
Pemerintah federal Australia sekarang ini bukan tidak menyadari bahaya sebuah "kejutan" bagi stabilitas hubungan bilateralnya dengan Indonesia.
Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith bahkan menggarisbawahi hal itu saat berbicara di forum Konferensi Hubungan Indonesia-Australia di Sydney 20 Februari 2009.
Ketika itu, ia menegaskan bahwa sikap "berpuas diri" dan "kejutan" (surprise) merupakan dua ancaman nyata bagi penguatan hubungan kedua negara.
Kemunculan "surprise" (kejutan) dalam merespon isu-isu sensitif hubungan kedua negara, menurut Smith, bisa dikurangi dan bahkan dihilangkan dengan penguatan hubungan di tingkat rakyat.
Hanya saja, hambatan hubungan Australia-Indonesia selama ini justru berakar di tingkat rakyat karena masih kuatnya persepsi negatif publik masing-masing negara dalam melihat hubungan ini, seperti tercermin dari hasil survei Lembaga Kajian "Lowy Institute" Sydney tahun 2008.
Survei "Lowy Institute" tersebut menunjukkan warga Australia merasa lebih hangat berhubungan dengan Rusia dan Uni Emirat Arab daripada Indonesia sekalipun kedua negara saling bertetangga.
Di tengah kerapuhan hubungan di tingkat rakyat itu pula, Australia kembali memberikan "kejutan"-nya kepada Indonesia lewat investigasi AFP atas kasus kematian lima wartawan Australia di Balibo tahun 1975 yang kemudian populer dengan sebutan "Balibo Five" ini.
AFP jadi tameng
Terhadap manuver ini, pemerintah Australia menjadikan independensi keputusan Pengadilan Koroner Negara Bagian New South Wales yang mendorong AFP membuka kembali kasus ini "tameng" menghadapi reaksi keberatan Indonesia.
Dalam konferensi persnya bersama Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Mozambik, Oldemiro Baloi, di Perth, Jumat (11/9), Menlu Smith menegaskan ketidakterlibatan pemerintah dalam keputusan apa pun yang terkait dengan penyelidikan kasus "Balibo Five" karena itu sepenuhnya merupakan urusan AFP.
"Sebagai Menlu, saya tidak punya peran di dalam soal (keputusan AFP) ini. Tidaklah tepat bagi menteri manapun ikut bermain. Jadi semua ini didasarkan pada penilaian independen AFP," katanya.
Ia juga menekankan bahwa pemerintah negara bagian New South Wales maupun pemerintah federal Australia tidak terlibat dalam lahirnya keputusan Pengadilan Koroner New South Wales 16 November 2007 dan keputusan AFP menyelidiki tuduhan kejahatan perang dalam kasus "Balibo Five" ini.
"Semua itu adalah keputusan yang dibuat oleh pihak berwenang independen secara independen dan obyektif," katanya.
Menlu Smith pun mengakui bahwa langkah AFP menginvestigasi kasus lama ini mengejutkan Indonesia dan merupakan "isu sensitif yang harus dikelola secara hati-hati, pantas, dan peka".
Karena itu, ia merasa perlu menyampaikannya secara pribadi kepada Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu Primo Alui Joelianto di Canberra.
Seperti mengulang keyakinan PM John Howard saat memberikan "kejutan" dalam kasus pemberian visa proteksi kepada 42 warga Papua tahun 2006, Menlu Smith pun menegaskan keyakinannya bahwa investigasi AFP atas kasus "Balibo Five" ini tidak akan merusak hubungan kedua negara yang sudah berjalan sangat baik.
Terlepas dari keyakinan Canberra pada kekuatan fondasi dan keharmonisan hubungan bilateral, khususnya di tingkat pemerintah, keputusan AFP tersebut dianggap Jakarta sebagai sebuah pukulan. Padahal, seperti dikatakan Juru bicara Deplu, Teuku Faizasyah, kasus "Balibo Five" 1975 sudah selesai.
"Indonesia tidak melihat adanya suatu kepentingan untuk membuka kasus ini lagi. Sudah disimpulkan bahwa kematian kelima wartawan asing tersebut adalah karena kecelakaan bukan disengaja," katanya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan mengingatkan Australia agar ikut mendukung upaya Komisi Kebenaran dan Persahabatan (CTF) Indonesia-Timor Leste mengakhiri konflik secara bijak dan melihat ke depan dengan sejumlah rekomendasi yang ditindaklanjuti Indonesia dan Timor Leste.
"Ini penting agar hubungan dengan Australia yang sekarang dalam keadaan baik, bahkan sangat baik, tidak terganggu dengan masalah-masalah yang muncul, karena menggunakan cara berpikir, yang menurut kita tidak tepat," katanya.
Kasus kematian Greg Shackleton, Tony Stewart, Brian Peters, Malcolm Rennie, dan Gary Cunningham (Balibo Five) yang terus menyeret nama Yunus Yosfiah, mantan perwira TNI yang pernah menjadi menteri penerangan di masa pemerintahan B.J Habibie ini kini bak "kerikil dalam sepatu" hubungan Indonesia- Australia. (*)
Oleh Rahmad Nasution
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009