Ketua Umum Komnas PA Seto Mulyadi, dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu, menyebutkan, pihaknya telah menunjukkan bukti-bukti kuat dengan menghadirkan dua saksi dan 14 ahli bahwa UU Penyiaran sangat lemah dalam melindungi anak dari terpaan iklan, khususnya iklan rokok.
Komnas PA untuk itu mendesak agar iklan rokok di media penyiaran baik televisi maupun radio harus dilarang.
Namun, putusan MK tetap menolak uji materil Pasal 46 ayat (3) huruf C UU Penyiaran yang dimohonkan tersebut.
Menurut Komnas PA, putusan itu merupakan bentuk kemunduran bangsa Indonesia dalam melindungi anak dan remaja dari serbuan iklan rokok serta membuktikan bahwa lembaga di Indonesia tidak mampu melawan dominasi industri rokok.
Komnas PA juga menyesalkan bahwa MK dalam pertimbangannya menyebutkan, melarang iklan rokok adalah bentuk pelanggaran HAM.
Padahal, banyak negara di dunia internasional telah melarang iklan rokok sementara Indonesia adalah hanya sebagian kecil dari negara yang masih membolehkan beredarnya iklan rokok.
Komnas PA namun tetap menghargai "dissenting opinion" yang dikemukakan empat hakim MK, yaitu Maruarar Siahaan, Muhammad Alim, Hardjono, dan Achmad Sodiki.
Maruarar menegaskan, perlindungan generasi muda (dari iklan rokok) merupakan dasar yang rasional bagi pembatasan hak asasi kelompok tertentu.
Muhammad Alim menyatakan, kemanfaatan iklan rokok hanya dirasakan perusahaan rokok dan dunia periklanan tanpa memperdulikan nasib dari jutaan manusia dan anak Indonesia.
Achmad Sodiki memaparkan, keadaan yang terjadi sekarang adalah penguasa melegalisasi promosi rokok yang akhirnya hanya menghempas anak-anak atau generasi mendatang.
Keempat hakim MK yang memberikan "dissenting opinion" itu menegaskan, perekonomian tidak akan terganggu hanya dengan pelarangan iklan rokok.
Sebelumnya, MK pada Kamis (10/9) menolak permohonan pengujian UU Penyiaran yang diajukan Komnas PA, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat, serta perorangan anak Indonesia, yakni, Alfie Sekar Nadia dan Faza Ibnu Ubaydillah.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009