Jakarta (ANTARA) - "Primum non nocere" adalah ungkapan bahasa latin yang artinya First, do no harm atau "Pertama, jangan merugikan".
Frase ini berasal dari tulisan Hippocrates, dalam Epidemics (400 SM), Buku 1, bab XI yang berbunyi: "Declare the past, diagnose the present, foretell the future; practice these acts. As to diseases, make a habit of two things — to help, or at least to do no harm."
Terjemahan secara kontekstual adalah, jika menemui masalah, yang harus dipertimbangkan pertama adalah risiko. Risiko terhadap kemungkinan timbulnya kerugian atau petaka harus dihindarkan.
Prinsip ini sesungguhnya berlaku untuk seluruh lapangan pekerjaan dan profesi. Prinsip fundamental ini diajarkan semenjak semester awal pada mahasiswa kedokteran. Sehingga dikenal dengan istilah Sumpah Hippocrates.
Ketika melakukan pelayanan medis mereka harus memikirkan kemungkinan merugikan atas tindakan yang akan dilakukan.
Untuk itu, setiap tindakan medis harus didasarkan pada analisis gejala, fakta, data dan teori yang jelas dan pasti.
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia pada salah satu pasalnya menyebutkan setiap dokter harus dalam setiap praktek medisnya memberikan pelayanan medis yang berkompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pertanyaannya, apakah Sumpah Hippocrates juga dapat dipakai untuk profesi pustakawan? Dalam Kode Etik Pustakawan disebutkan bahwa Pustakawan melaksanakan pelayanan perpustakaan dan informasi kepada setiap pengguna secara cepat, tepat, dan akurat sesuai dengan prosedur pelayanan perpustakaan, santun, dan tulus.
Apakah kerugian yang ditimbulkan akibat kurangnya pertimbangan dan kompetensi dalam pelayanan pustakawan berdampak pada risiko yang sama dengan profesi dokter? Tentu saja, karena dapat berdampak langsung pada kerugian material dan nonmaterial, bahkan dapat saja mengancam nyawa seseorang!
Dapat kita bayangkan apa yang bakal terjadi, sebagai dampak akibat membaca data yang salah, mengambil informasi yang kadaluwarsa, mencermati informasi yang belum matang, mendapat masukan dari sumber rujukan yang tidak jelas, menganalisis data yang bias, mengambil perbandingan yang tak setara, lalu sesat pikir yang ditimbulkan, kesimpulan yang tidak tepat, keputusan yang keliru, analisis yang lemah dan hal-hal buruk lainnya.
Dengan demikian, secara kontekstual setiap pelayanan profesi di masyarakat selalu berkaitan dengan nilai dan kepercayaan (trust), demikian halnya dengan kepustakawanan.
Profesi adalah suatu pekerjaan yang untuk melaksanakan tugasnya menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta menuntut dedikasi yang tinggi.
Keahlian yang diperoleh dari lembaga pendidikan khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang diatur secara ketat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk menuntun keterpercayaan profesi dalam melakukan tugasnya disepakati adanya kode etik di antara kalangan profesi tersebut.
Etika profesi adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan profesional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban dan keahlian sebagai bentuk sebuah pelayanan publik.
Kode etik profesi menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan kode etik yaitu agar tetap profesional dan baik dalam memberikan jasa. Dengan adanya kode etik akan menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak profesional.
Jadi di jaman Google ini, apakah etika profesi pustakawan penting? Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para para profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesinya, pada saat memberikan jasa keahlian profesi kepada yang memerlukan.
Tanpa etika profesi, apa yang dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi, menjadi sebuah pekerjaan mencari nafkah biasa atau terokupasi oleh jasa sejenis yang tak jelas juntrungannya.
Jika menjadi pustakawan tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme, maka profesi ini akan segera berakhir dengan sendirinya, karena kehilangan signifikansi dan relevansi dengan kebutuhan masyarakat.
Baca juga: Perpusnas: Pustakawan berperan membentuk budaya literasi
Baca juga: Rakerpus 2020 tekankan inovasi-kreativitas pustakawan
Kemajuan teknologi
Laju perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat ibarat dua sisi mata pedang. Satu sisi, perkembangan teknologi dan informasi berdampak positif bagi peradaban hidup manusia.
Perkembangan teknologi mempercepat dan memudahkan arus informasi dan data, membuka peluang bisnis, menciptakan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan pengetahuan.
Di sisi lain, perkembangan teknologi dan informasi tanpa filterisasi berdampak negatif pada perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Salah satu dampak negatif dari perkembangan teknologi dan informasi yang telah mewabah dalam kehidupan bermasyarakat saat ini, selain COVID-19 juga penyebaran hoaks.
Pustakawan tidak dapat mengontrol informasi yang bermunculan di berbagai media. Tetapi, pustakawan harus dapat memberikan informasi yang memengaruhi para pemustakanya.
Pustakawan dapat memberikan pengaruh bagi pemustaka untuk mendapatkan informasi yang berkualitas, bernilai, dan bermanfaat serta memengaruhi nonpemustaka (masyarakat) untuk memanfaatkan perpustakaan, karena kredibilitas dan otoritas sumber informasinya.
Pustakawan dapat melakukan edukasi literasi informasi ke masyarakat melalui penguatan budaya membaca, karena semua jenis literasi basisnya adalah membaca.
Pustakawan harus menjadi mitra masyarakat dalam melakukan penelusuran, pencarian, pemilihan dan identifikasi informasi yang benar. Pustakawan harus mampu bertindak sebagai sejawat dalam penulisan berita atau karya tulis ilmiah bagi pemustaka yang akan membuat kajian ilmiah atau pemberitaan media.
Jika perlu dan seharusnya pustakawan sebagai fasilitator pemeriksa plagiarisme, falsifikasi dan distorsi informasi yang terencana dan jahat.
Oleh karenanya, peran dari pustakawan dalam era disrupsi ini semestinya seperti dituturkan Milan Kundera, “bahwa dalam mencari kebenaran kita harus selalu siap berurusan dengan kematian.”
Karena profesi pustakawan tanpa semangat semacam itu, ia gagal menjadi knowledge mediator, yang menjembatani antara sumber pengetahuan dan pencari pengetahuan yang akurat dan terpercaya. Salam literasi…..!
Baca juga: Kebutuhan pustakawan Indonesia capai 500 ribu orang
Baca juga: Pustakawan kampanyekan gemar membaca melalui kedai kopi di CFD
*) Dr. Joko Santoso adalah Kepala Biro Hukum dan Perencanaan, Perpustakaan Nasional RI
Copyright © ANTARA 2020