Jakarta (ANTARA) - Penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nur Masripatin mengatakan pandemi COVID-19 mempengaruhi kondisi semua negara sehingga bukan menjadi alasan kemunduran target penurunan emisi sesuai Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
“Kita perlu lihat basis filosofi komitmen kita terhadap Paris Agreement. Untuk kita, isu perubahan iklim ini sangat terkait dengan ketahanan nasional,” kata Masripatin dalam #3webinar Indonesia Environment Talk 2020; Membangun Kolaborasi Multipihak untuk Aksi Iklim yang Lebih Baik Pascapandemi yang dilaksanakan WRI Indonesia dan APIK di Jakarta, Selasa.
Basis filosofi kedua,lanjutnya, konstitusi Indonesia dimana dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Baca juga: Komitmen pendanaan iklim bertambah di COP-23
Baca juga: Pemerintah segera bentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup
Sebagai pedoman untuk implementasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) di dalam negeri, menurut dia, juga sudah ada peta jalan pelaksanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Namun, saat berbicara pandemi COVID-19 dan komitmen Indonesia di bawah Paris Agreement, dengan dua basis filosofi tersebut, itu bukan alasan untuk kemunduran dari pemenuhan target penurunan emisi GRK sesuai NDC Indonesia, yakni 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional di 2030.
“Untuk menunjukkan kita tidak ada perubahan komitmen dikaitkan dengan backsliding, roadmap untuk mitigasi telah selesai. Updated NDC untuk adaptasi juga memuat program atau kegiatan yang lebih elaborative dan peta jalannya sedang dalam proses penyelesaian,” kata Masripatin.
Indonesia mempunyai target NDC di 2030 dengan peta jalan yang telah dibuat, kemudian untuk jangka panjang tahun 2050, ada kontribusi untuk mencapai net emisi global. Sehingga, tiga hal yang menurut dia, mesti ada untuk mencapai itu, yakni lingkungan investasi kondusif, reformasi struktural untuk pertumbuhan dan kebijakan pengendalian perubahan iklim.
Baca juga: Indonesia turunkan 11 persen emisi GRK
Sementara itu, Direktur World Resources Institute (WRI) Indonesia Tjokorda Nirarta Samadhi mengatakan saat ini mulai terdengar istilah green recovery, dimana secara program mengambil gagasan dari green new deal dan orang-orang mengatakan saat ini, kondisi pandemi COVID-19, momentum mengatasi krisis iklim.
Ia mencontohkan perbandingan green new deal yang dilakukan Korea Selatan dan Amerika Serikat (AS). Korea Selatan melakukan itu untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, sedangkan di AS dilakukan untuk mendukung penciptaan pekerjaan, membangun energi baru terbarukan (EBT), meningkatkan efisiensi energi, modernisasi jaringan, mendorong pertumbuhan penyimpanan energi.
Dalam waktu singkat, ia mengatakan Korea Selatan mengalami perbaikan ekonomi. Namun, elemen-elemen hijaunya masih dianggap rendah meski ada peningkatan EBT, dibandingkan dengan peningkatan karbon dioksida (CO2).
“Ini karena belum munculnya reformasi dalam hal pricing, pajak karbon. Perlu dicatat pentingnya green recovery terus menerus diperkuat dengan memasukkan elemen-elemen seperti feed in tarif di tahun berikutnya,” ujar dia.
Baca juga: KLHK: Usaha kehutanan berperan capai Persetujuan Paris
Sedangkan di AS, populasi EBT telah tumbuh 8 persen dan Produk Domestik Bruto (PDB) juga meningkat lebih dari 20 persen, dan konsumsi listrik perumahan menjadi lebih rendah.
Meski demikian, ia memiliki kritik untuk Korea Selatan yang memilih mempromosikan nuklir dibanding EBT. Sedangkan di AS industri dapat dikategorikan hijau hanya dengan satu kriteria menghasilkan bahan bakar alternatif selain fosil tanpa mempraktikkan keberlanjutan.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020