Jakarta (ANTARA) - Pakar sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Dr Asvi Warman, berpendapat jika Hari Lahir (Harlah) Pancasila bisa kembali diperingati 1 Juni karena sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Hari Santri Nasional di tanggal 22 Oktober.
"Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, itu tidak berhasil ditetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Baru terobosan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Ini diawali peristiwa sebelumnya yaitu ketika Presiden Joko Widodo itu menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri pada tahun 2015," kata Aswi dalam web seminar Hari Lahir Pancasila di akun Youtube Kementerian PANRB, Senin.
Sebelumnya, di era Orde Baru, ada rekayasa sejarah untuk menampik pidato Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 sebagai hari pertama tercetusnya Pancasila di muka umum.
Baca juga: Akademisi ingatkan harlah Pancasila perkuat persatuan hadapi COVID-19
"Tidak diakui bahwa Bung Karno (sapaan Soekarno)-lah yang pertama berpidato tentang Pancasila. Disebutkan Mohammad Yamin dan Supomo sudah lebih dahulu dari Bung Karno dan keduanya juga mengungkapkan dasar negara," kata Asvi.
Padahal menurut Asvi, apa yang disebutkan Mohammad Yamin dan Supomo tidak tegas menyebutkan Pancasila itu dasar negara.
Kemudian, di masa Orde Baru pula, kata Asvi, ada upaya menghilangkan peran Soekarno dalam Pancasila.
Setelah masa Orde Baru berganti Reformasi, Ketua MPR RI saat itu Taufik Kiemas mencoba kembali melakukan kegiatan kenegaraan tentang Peringatan Pidato Soekarno tahun 1 Juni 1945.
"Saat itu belum dikatakan secara tegas bahwa itu adalah Hari Lahir Pancasila," kata Asvi.
Pada saat itu juga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat akan mengeluarkan Keputusan Presiden untuk menetapkan Hari Lahir Pancasila 1 Juni, namun kemudian tidak jadi karena mendapat pertentangan misalnya Surat Terbuka dari Anggota DPD RI AM Fatwa pada tahun 2012.
Surat terbuka pada tahun 2012 itu mengesankan bahwa sebagian umat Islam menolak Harlah Pancasila itu diperingati pemerintah setiap 1 Juni.
Baca juga: Mendagri ajak kibarkan Bendera Merah Putih di Hari Lahir Pancasila
Kemudian, di masa pemerintahan Presiden Jokowi, ada usulan dari kalangan Pesantren agar pemerintah menetapkan Hari Santri Nasional.
"Pada mulanya, berkembang pemikiran Hari Santri itu dirayakan pada tanggal 1 Muharram. Namun kita tahu, tanggal 1 Muharram itu jatuh tidak pada tanggal yang sama setiap tahun (Masehi) sehingga akan merepotkan jika tidak ditetapkan pada tanggal yang sama," kata Asvi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian memutuskan menetapkan Hari Santri pada 22 Oktober. Sebagai dasar penetapan itu adalah sebab 22 Oktober adalah tanggal resolusi jihad dikeluarkan pertama kali oleh Pendiri Nahdlatul Ulama Kiai Haji Hasyim Asyhari sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Asvi mengatakan Resolusi Jihad adalah bagian penting dari perjuangan arek-arek Suroboyo dalam pertempuran 10 November 1945.
Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asyhari membangkitkan semangat membela tanah air Bangsa Indonesia dari ancaman dari Bangsa Sekutu yang mau menguasai Indonesia, sehingga peristiwa itu layak diabadikan dan diperingati sebagai bagian dari sejarah perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
"Peristiwa ini sangat penting untuk dimasukkan dalam sejarah, karena di dalam buku Pertempuran Surabaya yang dikeluarkan oleh Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI tahun 1998, resolusi jihad itu tidak disebut," kata Asvi.
Maka hal itu mendasari Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945.
Menurut Asvi, Presiden Jokowi mungkin melihat ada hubungan antara nasionalisme dengan agama. Agama juga dipandang dapat memperkuat nasionalisme.
"Di sini (agama), kontekstualitas jihad itu adalah dalam rangka membela negara, tampak pula di sini (jihad), peran kiai dan santri yang juga berjuang mempertahankan Indonesia," kata Asvi.
Baca juga: Soekarno tetapkan Harlah Pancasila 1 Juni, bantah pidato pentolan PKI
Baca juga: Presiden Jokowi jadi Inspektur Upacara Peringatan Harlah Pancasila
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020